Dihadiri oleh dosen, mahasiswa, dan para pendidik tahfidz, diskusi ini membuka ruang dialog yang mendalam dan menyentuh isu penting yang kerap terabaikan dalam praktik pendidikan Al-Qur’an: peran emosi dan kemampuan regulasi diri dalam menjaga konsistensi dan makna dalam menghafal Al-Qur’an.
Sebagai narasumber utama, Dr. Gadis Deslinda, M.Psi., Psikolog, menjelaskan bahwa proses tahfidz Al-Qur’an sejatinya bukan hanya persoalan kemampuan menghafal ayat demi ayat, tetapi juga proses pembentukan jiwa yang penuh tantangan emosional. “Ada rasa bosan, marah, kecewa, bahkan cemas saat hafalan terlupa. Dan semua itu perlu dikelola dengan baik agar tidak menggerus semangat para santri,” ujarnya.
Ia memaparkan lima aspek utama emotional intelligence menurut psikologi modern—kesadaran diri, pengendalian emosi, motivasi, empati, dan keterampilan sosial—seraya mengaitkannya dengan nilai-nilai Qur’ani. Salah satu ayat yang menjadi rujukan adalah QS. Al-Baqarah: 153 yang menyebut sabar dan salat sebagai penolong, yang menurut Dr. Gadis tidak hanya berfungsi sebagai tuntunan ibadah, tetapi juga sebagai bimbingan emosi dalam menghadapi tekanan kehidupan, termasuk dalam proses tahfidz. Pendekatan yang digunakan dalam diskusi ini memperkuat pentingnya integrasi antara sains psikologi dengan spiritualitas Islam. Al-Qur’an, menurutnya, tidak hanya menjadi objek hafalan, tetapi juga sumber ketenangan batin dan pengatur emosi yang agung.
Diskusi semakin hidup dengan kehadiran Dr. Retno Pangestuti, M.Psi., Psikolog, sebagai pemantik. Ia menyoroti pentingnya pendekatan empatik dan emosional dalam membimbing santri. “Kadang kita terlalu menekankan target hafalan tanpa peduli pada beban emosional anak. Padahal, santri bukan mesin, mereka butuh dipahami dan dikuatkan,” tuturnya. Dengan pendekatan psikologi Islami yang penuh empati, sang santri berhasil bangkit dan melanjutkan proses hafalannya. Ia menekankan pentingnya keberadaan guru sebagai sosok yang tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi tempat curhat dan pemberi semangat. “Ketika anak merasa dimengerti, semangat mereka tumbuh. Guru harus hadir bukan hanya untuk mengoreksi, tetapi juga untuk mengapresiasi,” tambahnya.
Berbagai tanggapan dari peserta memperkaya diskusi. Dr. Ernawati menekankan pentingnya memberikan penghargaan atas setiap pencapaian santri, sekecil apa pun. “Jangan menyalahkan atau berkata ‘kenapa baru segini’, tetapi akui dan apresiasi perjuangan yang telah mereka lakukan,” tegasnya. Sedangkan Dr. Hamdan Magribi menambahkan bahwa Psikologi Islam memiliki potensi besar untuk memperkuat keberhasilan program tahfidz yang lebih humanis dan seimbang secara emosional. Mahasiswa Psikologi Islam yang turut hadir pun mengaku mendapatkan pandangan baru yang mencerahkan. “Kami jadi sadar bahwa hafalan bukan hanya soal kerja otak, tapi juga soal kekuatan hati,” ujar salah satu peserta. Diskusi ini menjadi pengingat bahwa proses tahfidz Qur’an adalah perjalanan ruhani dan emosional yang memerlukan ruang batin, bimbingan yang suportif, dan pendekatan yang menyentuh aspek manusia secara utuh.
Di akhir kegiatan, para peserta dan narasumber menyampaikan harapan agar diskusi ini dapat menjadi langkah awal pengembangan kurikulum tahfidz berbasis psikologi Islam. Kegiatan seperti ini dinilai penting untuk disebarluaskan dalam bentuk pelatihan bagi para guru tahfidz, pengasuh pesantren, dan pendamping keagamaan. Komitmen tersebut sejalan dengan semangat “Islamic Psychology for Human Well-being” yang terus digaungkan oleh Program Studi Psikologi Islam FUD UIN Raden Mas Said Surakarta. Dengan menjembatani ilmu dan iman, serta akal dan qalbu, Prodi ini berharap dapat mencetak generasi penghafal Qur’an yang tidak hanya kuat dalam hafalan, tetapi juga tangguh jiwanya, cerdas emosinya, dan hadir membawa cahaya ilahiyah dalam kehidupan masyarakat. Informasi lebih lanjut mengenai Program Studi Psikologi Islam UIN Raden Mas Said Surakarta dapat diakses melalui akun resmi Instagram di pi.uinsurakarta. (Tj*)