Oleh: Nila Muspitasari*
Pendidikan inklusif merupakan paradigma yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan dalam sistem pendidikan, di mana setiap anak, termasuk mereka yang memiliki disabilitas, memperoleh hak yang sama untuk belajar dan berkembang bersama siswa lainnya. Di tengah upaya mewujudkan lingkungan belajar yang setara, sekolah inklusi menjadi ruang strategis untuk menyatukan perbedaan dalam satu wadah pendidikan yang holistik. Namun, keberhasilan pendidikan inklusif tidak hanya ditentukan oleh kebijakan atau fasilitas, melainkan juga oleh kualitas interaksi sosial antar siswa, khususnya penerimaan siswa reguler terhadap teman sebaya yang memiliki disabilitas.
Dalam konteks ini, iklim sekolah Islami dapat memainkan peran penting. Sebagai cerminan nilai-nilai agama yang menjadi dasar budaya sekolah, iklim sekolah Islami berpotensi menciptakan lingkungan sosial yang kondusif, suportif, dan berorientasi pada nilai-nilai keadilan, empati, dan kasih sayang. Artikel ini akan mengulas keterkaitan antara iklim sekolah Islami dengan penerimaan sosial siswa reguler terhadap siswa disabilitas di sekolah inklusi, dengan meninjau kerangka konseptual, aspek-aspek penting, serta hasil temuan yang mendukung hubungan tersebut.
Pendidikan Inklusif dan Tantangannya
Pendidikan inklusif bukan sekadar penempatan siswa disabilitas di ruang kelas umum, tetapi menuntut transformasi budaya dan sikap seluruh warga sekolah. Siswa reguler menjadi komponen vital dalam keberhasilan interaksi sosial di kelas inklusi. Menurut Hasanah et al. (2015), sikap siswa reguler terhadap siswa disabilitas dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap keterbatasan fisik, sosial, emosional, dan intelektual yang dimiliki teman sekelasnya. Sikap tersebut dapat berkembang dalam dua arah: positif—ditandai dengan bantuan, penerimaan, dan empati; atau negatif—terwujud dalam penghindaran, diskriminasi, bahkan tindakan perundungan.
Penelitian Pertiwi et al. (2015) menunjukkan bahwa lingkungan sosial, termasuk pengaruh teman sebaya dan iklim sekolah, berkontribusi terhadap perilaku bullying. Penerimaan sosial hanya dapat tumbuh jika siswa reguler bersosialisasi secara langsung dengan siswa berkebutuhan khusus dalam suasana yang mendukung. Oleh karena itu, menciptakan iklim sekolah yang sehat menjadi kebutuhan mutlak.
Iklim Sekolah Islami: Sebuah Pendekatan Holistik
Iklim sekolah Islami merujuk pada sistem nilai, norma, dan perilaku yang berakar dari ajaran Islam dan terintegrasi dalam seluruh aspek kehidupan sekolah. Rahmawati (2019) mengemukakan bahwa nilai-nilai Islami dalam sekolah mencakup tiga dimensi: content (kurikulum, aturan, norma, dan program), conduct (perilaku warga sekolah), dan context (lingkungan fisik dan sosial sekolah).
Quraish Shihab (dalam Mala, 2015) menegaskan bahwa tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah membina manusia agar mampu menjalankan perannya sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Dalam konteks sekolah, tujuan ini diterjemahkan ke dalam budaya Islami yang membentuk karakter peserta didik, guru, dan seluruh warga sekolah agar menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keadilan, dan tanggung jawab sosial.
Menurut Alaydroes (2012), terdapat delapan nilai utama dalam iklim sekolah Islami: (1) Iman dan Akhlak; (2) Iltizam dan Jiddiyah (komitmen dan kesungguhan); (3) Adil dan Ukhuwwah (keadilan dan solidaritas); serta (4) Amanah dan Khidmah (tanggung jawab dan pelayanan). Nilai-nilai ini tidak hanya menciptakan suasana religius, tetapi juga membentuk pola interaksi sosial yang berorientasi pada penghargaan terhadap sesama.
Penerimaan Sosial: Definisi dan Dimensi
Penerimaan sosial adalah proses psikososial di mana individu atau kelompok menerima orang lain sebagai bagian dari lingkungannya tanpa prasangka terhadap perbedaan. Eklin (2003) mendefinisikan penerimaan sebagai sikap berbesar hati untuk menerima kenyataan, tanpa keputusasaan. Viscott (2002) menekankan bahwa penerimaan sosial berarti menerima seseorang secara utuh, tanpa menolak hanya karena satu kekurangan.
Menurut Berk (2009) dan Leary (2010), penerimaan teman sebaya mengacu pada sejauh mana individu dipandang pantas dan dihargai dalam kelompok sosial. Hal ini mencakup dimensi toleransi, penerimaan aktif, dan keinginan untuk membangun hubungan dengan individu tersebut. Parker dan Asher (1993) mengidentifikasi enam aspek penerimaan sosial: (1) validation and caring; (2) conflict and betrayal; (3) companionship and recreation; (4) help and guidance; (5) intimate exchange; dan (6) conflict resolution.
Keterkaitan Iklim Sekolah Islami dan Penerimaan Sosial
Terdapat keterkaitan yang erat antara nilai-nilai dalam iklim sekolah Islami dengan aspek-aspek penerimaan sosial yang diuraikan oleh Parker dan Asher. Berikut beberapa keterhubungan yang signifikan:
1. Iman dan Akhlak ↔ Conflict Resolution
Nilai keimanan dan akhlak menanamkan tanggung jawab spiritual dan moral dalam diri siswa. Dalam menghadapi konflik, siswa yang dibekali nilai keimanan cenderung mencari solusi yang adil dan damai. Ini mendukung terbentuknya aspek conflict resolution, di mana siswa mampu menyelesaikan perbedaan pendapat tanpa kekerasan atau penolakan terhadap pihak lain.
2. Iltizam dan Jiddiyah ↔ Help and Guidance
Komitmen dan kesungguhan dalam belajar dan bekerja yang didorong oleh nilai iltizam dan jiddiyah menghasilkan lingkungan di mana siswa saling membantu untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini mencerminkan aspek help and guidance, yaitu saling memberikan dukungan ketika menghadapi kesulitan akademik atau sosial.
3. Adil dan Ukhuwwah ↔ Validation and Caring & Intimate Exchange
Keadilan dan solidaritas melahirkan semangat kebersamaan, empati, dan kasih sayang. Dalam konteks ini, siswa lebih mudah menerima keberadaan teman disabilitas, mendengarkan cerita mereka, serta menunjukkan kepedulian yang tulus. Inilah wujud nyata dari aspek validation and caring serta intimate exchange.
4. Amanah dan Khidmah ↔ Help and Guidance
Ketika siswa terbiasa mengemban amanah dan memberikan pelayanan dengan sepenuh hati, mereka cenderung bertanggung jawab atas kesejahteraan sosial di kelas. Sikap ini mendorong lahirnya relasi suportif, di mana siswa saling membantu bukan karena kewajiban, melainkan sebagai ekspresi nilai spiritual.
Temuan Penelitian: Korelasi Positif
Hasil penelitian pada salah satu SMP inklusi dengan pendekatan iklim sekolah Islami menunjukkan adanya hubungan positif antara iklim sekolah Islami dengan tingkat penerimaan sosial siswa reguler terhadap siswa disabilitas. Iklim sekolah Islami memengaruhi penerimaan sosial sebesar 13,2%, yang berarti bahwa semakin kuat nilai-nilai Islami yang diinternalisasi dalam kehidupan sekolah, maka semakin tinggi pula tingkat penerimaan sosial yang ditunjukkan siswa reguler.
Meskipun angka kontribusinya tidak sepenuhnya dominan, temuan ini menegaskan bahwa faktor nilai dan budaya sekolah memberikan pengaruh nyata terhadap kualitas interaksi sosial di ruang kelas inklusi. Oleh karena itu, membangun iklim sekolah Islami bukan hanya menjadi tanggung jawab kepala sekolah atau guru agama, tetapi merupakan agenda kolektif seluruh civitas akademika.
Implikasi dan Rekomendasi
Implikasi dari penelitian ini sangat relevan untuk pengembangan kurikulum dan kebijakan sekolah inklusi. Penerapan nilai-nilai Islami dalam kehidupan sehari-hari di sekolah dapat menjadi salah satu strategi untuk menumbuhkan empati, solidaritas, dan penerimaan sosial terhadap keberagaman.
Beberapa rekomendasi yang dapat ditarik adalah:
Kesimpulan
Iklim sekolah Islami terbukti memiliki kontribusi positif terhadap penerimaan sosial siswa reguler kepada siswa disabilitas di sekolah inklusi. Dengan membangun budaya sekolah yang berakar pada nilai keimanan, keadilan, tanggung jawab, dan solidaritas, sekolah dapat menjadi ruang yang aman, ramah, dan membangun bagi semua peserta didik, tanpa terkecuali. Penerimaan sosial bukanlah hasil instan, melainkan buah dari lingkungan yang menghargai perbedaan dan menjadikannya sebagai kekuatan kolektif dalam membangun masa depan pendidikan yang inklusif dan bermakna.
*Mahasiswa Psikologi Islam Angkatan 2020