Oleh: Muhammad Syamil Rabbani*
Di sebuah desa di Sleman, Yogyakarta, berdiri sebuah pesantren sunyi, Pondok Pesantren Tunarungu-Tuli Jamhariyah. Sunyi bukan berarti sepi dari semangat. Di balik pagar sederhana dan aula kecilnya, belasan santri dengan keterbatasan pendengaran saling merapal Kalamullah. Mereka tidak mendengar ayat suci seperti kita, tetapi mereka membisikkan ayat itu dalam hati, menulisnya di memori, lalu menampilkannya lewat gerak bibir, isyarat tangan, dan getaran keyakinan.
Mungkin bagi sebagian orang, mustahil membayangkan anak-anak tuli bisa hafal Al-Qur’an. Namun bagi mereka, mustahil hanyalah kata, bukan alasan untuk menyerah. Dan di sinilah daya juang menemukan makna terdalamnya: daya tahan, ketekunan, kesungguhan, dan sabar yang dirawat di balik keterbatasan fisik.
Antara Bait Ayat dan Bahasa Isyarat
Saya melihat seorang santri bernama AH, 11 tahun, duduk bersila di serambi pondok, memegang Iqra’ yang lusuh. Matanya menatap gerak bibir ustadz, jarinya meniru gerakan tangan sang guru. Begitulah cara huruf hijaiyah menembus sunyi. Tidak ada suara azan, tidak ada suara murattal. Yang ada hanyalah isyarat, tulisan, dan hati yang mendengar lebih tajam daripada telinga.
Menghafal Al-Qur’an bagi santri disabilitas rungu adalah mendaki dua gunung sekaligus: gunung huruf Arab dan gunung keterbatasan pendengaran. Satu ayat tidak hanya diulang sepuluh kali, tetapi bisa puluhan. Tidak heran jika prosesnya berbulan-bulan. Namun tidak satu pun dari mereka mundur. Karena bagi mereka, Kalamullah bukan sekadar hafalan, tetapi nafas yang menjaga harga diri sebagai hamba-Nya.
Daya Juang: Bukan Sekadar Slogan
Dalam psikologi, daya juang atau Adversity Quotient (AQ) adalah kemampuan seseorang menghadapi tantangan hidup. Paul Stoltz membaginya dalam empat inti: kontrol, tanggung jawab, jangkauan, dan daya tahan. Riset tentang santri disabilitas rungu ini menegaskan AQ bukan sekadar teori Barat, tetapi realitas hidup di lorong-lorong pesantren sunyi.
Hasil penelitian peneliti menunjukkan bahwa daya juang santri disabilitas rungu benar-benar nyata: terlihat dari bagaimana mereka menghadapi tantangan sehari-hari, mengelola emosi yang kadang meledak karena frustrasi, hingga menjaga motivasi tetap menyala di tengah keterbatasan. Bayangkan, di mana banyak orang tua normal pun mudah goyah, mereka justru memegang Kalamullah erat-erat, meski hurufnya tidak pernah mereka dengar.
Membaca Lima Pilar Daya Juang
Penelitian peneliti ini menyingkap lima tema superordinat yang menjadi kerangka daya juang para santri disabilitas rungu. Tema-tema inilah yang membentuk ketangguhan mereka, membedakan mereka dari banyak orang lain yang punya fisik lengkap, tetapi mudah menyerah.
Pertama, penerimaan diri dan ketahanan emosional. Sejak awal, mereka sudah berdamai dengan sunyi. Mereka tahu tidak akan bisa mendengar azan berkumandang atau murattal imam besar. Tetapi mereka memilih menerima sunyi itu dengan lapang, menjadikannya ladang sabar. Mereka belajar menahan emosi saat hafalan macet, saat orang lain meremehkan. Dan di situlah ketahanan lahir.
Kedua, motivasi internal dan tujuan bermakna. Mereka tidak hanya menghafal untuk setor ayat. Mereka menghafal karena mereka percaya Kalamullah adalah penopang hidup. Tujuan mereka bukan duniawi, tetapi spiritual: ingin memberikan mahkota untuk orang tua di akhirat, ingin berdiri di hadapan Allah dengan dada penuh ayat. Tujuan inilah bahan bakar yang membuat mereka tetap bangkit saat lelah.
Ketiga, strategi personal dan manajemen waktu. Keterbatasan fisik menuntut mereka menyusun cara belajar yang tidak lazim. Mereka mengatur waktu muroja’ah, menggunakan gerakan tangan, menulis ayat berkali-kali, saling koreksi isyarat, atau berdiskusi lewat tulisan. Waktu mereka terbatas, tetapi dimaksimalkan agar satu huruf pun tidak tertinggal.
Keempat, dukungan sosial dan relasi interpersonal. Tidak ada daya juang tanpa sandaran. Para santri disabilitas rungu tidak sendirian. Ada guru yang sabar mempelajari bahasa isyarat, ada teman sebaya yang setia mengingatkan. Ada keluarga yang menerima mereka, bukan sebagai beban, tetapi anugerah. Lingkungan ini menjadi pagar kokoh agar niat mereka tidak runtuh di tengah jalan.
Kelima, pemaknaan terhadap pendidikan dan spiritualitas. Pesantren tidak sekadar ruang hafalan. Bagi mereka, pondok adalah tempat mendekat kepada Tuhan. Pendidikan bukan hanya angka nilai atau ijazah, tetapi cara mereka memperbaiki diri, menemukan makna hidup, menyalakan lentera iman.
Climbers dan Campers: Dua Wajah Daya Juang
Penelitian ini juga memotret variasi daya juang mereka. Ada santri bertipe climbers pendaki. Mereka gigih, bertanggung jawab, yakin pada diri sendiri. Satu ayat salah, mereka ulang tanpa disuruh. Mereka menolak berhenti meski letih. Di sisi lain, ada tipe campers mereka kadang terjebak di zona nyaman. Mereka merasa capaian hafalan sudah cukup. Ketika sulit, mereka lebih sering menyalahkan kondisi sekitar. Namun yang menarik, meski begitu motivasi mereka tidak pernah benar-benar padam, ketika ditanya kenapa tetap bertahan.
Dari Lorong Sunyi ke Jalan Kita
Membaca temuan ini, saya merasa tertampar. Berapa banyak orang sehat yang mundur hanya karena ditolak sekali? Berapa banyak mahasiswa menyerah menulis skripsi hanya karena satu revisi? Berapa banyak orang malas menghafal satu ayat saja dengan alasan sibuk?
Para santri disabilitas rungu di sudut pesantren ini sedang berteriak, meski tanpa suara: “Kalau kami saja bisa menjaga Kalamullah di tengah sunyi, kenapa kalian yang mendengar lantang malah lupa ayat di hati?”
Penelitian ini menegaskan bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang utama. Penghalang utamanya adalah pikiran dan hati yang rapuh. Sementara bagi para santri difabel, hati mereka justru lebih kokoh daripada pendengarannya.
Implikasi: Membuka Mata Pendidikan Islam
Temuan ini juga membawa pesan penting bagi lembaga pendidikan Islam. Bahwa mendidik santri difabel tidak cukup hanya menyediakan tempat tidur dan kitab. Dibutuhkan dukungan psikososial yang hangat, strategi pembinaan yang adaptif, dan guru yang mau belajar cara mereka belajar. Pendidikan Islam seharusnya membuka tangan selebar-lebarnya bagi anak-anak berkebutuhan khusus bukan hanya memberi belas kasihan, tetapi ruang untuk tumbuh setara.
Pesantren Jamhariyah mungkin kecil, tetapi semangatnya besar. Ia mengajarkan bahwa inklusi bukan sekadar jargon, tetapi ruang nyata di mana Kalamullah dijaga oleh siapa saja tuli, normal, miskin, yatim, semua sama di hadapan-Nya.
Kesimpulan: Lentera yang Tidak Padam
Salah satu pernyataan yang dapatkan saat wawancara kepada seorang santri disabilitas rungu adalah: “Saya tidak bisa mendengar, tapi saya ingin di akhirat saya mendengar suara Al-Qur’an dari malaikat.”
Kalimat ini lebih dalam dari ribuan teori motivasi. Mereka bukan sekadar santri. Mereka adalah penjaga Kalamullah di lorong sunyi. Mereka membisikkan pesan untuk kita: daya juang lahir bukan dari tubuh yang sempurna, tetapi hati yang mau terus mendaki.
Jika kita bertanya apa arti “mujahadah” di zaman modern, datanglah ke pesantren tunarungu. Lihatlah bagaimana ayat-ayat suci hidup dalam bibir tanpa suara, di jari tanpa bunyi, tetapi tetap bergetar di dada para penjaganya.
Maka, di luar sana, di mana pun kita berdiri, mari menyalakan daya juang versi kita masing-masing. Agar Kalamullah tetap terjaga bukan hanya di rak mushaf, tetapi di dada para pendengar sunyi, penulis bait, dan pembaca yang berani merawat ayat di tengah bising dunia.
*Mahasiswa Psikologi Islam Angkatan 2020