Syifa Rahmania Putri*
Pendidikan akhlak merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan keagamaan. Kebaikan menurut perilaku yang baik juga sejalan dengan nilai-nilai agama, begitu pula sebaliknya, keburukan menurut ajaran agama juga berdampak pada perilaku yang tidak baik. Dalam Islam, pendidikan akhlak memiliki peran penting karena kualitas seseorang diukur dari kebaikan perilaku dan tingkat keluhurannya. Islam mencari seseorang dengan karakter akhlak yang tinggi, seseorang yang menikmati kebaikan dalam kehidupan ini dan akhirat. Tidak mungkin seseorang memiliki akhlak yang baik tanpa adanya bimbingan atau pembinaan. Maka, penting bagi kita untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan moral berkembang melalui interaksi di antara keluarga, lingkungan sosial, dan proses pendidikan.
Di era saat ini, pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi seiring dengan globalisasi telah menghasilkan beragam ideologi yang memengaruhi cara manusia menjalani kehidupannya. Salah satu perspektif yang diterapkan dalam era globalisasi adalah pemahaman akan hedonisme. Gaya hidup hedonis menggambarkan pandangan di mana tujuan utama kehidupan adalah meraih kenikmatan dan kebahagiaan sebagai fokus utama. Perkembangan hedonisme berpengan berpengaruhbpada cara hidup beragam kelompok manusia, termasuk mereka yang berada dalam lingkungan mahasiswa. Mahasiswa yang menganut gaya hidup hedonis cenderung mengekspreksikan diri melalui kegiatan-kegiatan yang tidak menghasilkan, seperti gemar berbelanja, menikmati waktu luang, serta terkadang terjerumus dalam penggunaan obat-obatan terlarang.
Menurut Thamrin dan Saleh (2021), gaya hidup hedonistik mahasiswa memiliki dampak pada cara mereka berperilaku dalam hal konsumsi. Mahasiswa yang menjalani gaya hidup hedonisme menunjukkan perilaku konsumen yang kuat. Perilaku konsumen ini tercermin dengan pengeluaran uang dalam jumlah besar untuk mempunyai macam-macam barang mewah dan barang mahal lainnya. Hedonisme sering kali berasal dari dua pemicu utama, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah sesuatu yang berasal dari dalam diri seseorang, berdasarkan pada keyakinannya sendiri untuk menjalani gaya hidup yang sesuai dengan keinginannya. Sikap dan anggapan bahwa seseorang seharusnya menampilkan kemewahan dan kemegahan serta senang menjadi pusat perhatian. Pemikiran semacam itulah yang mengakibatkan terjadinya gaya hidup hedonis.
Faktor eksternal merupakan timbulnya terjadinya hedonisme yang datangnya dari luar. Pengaruh lingkungan secara langsung maupun tidak langsung dapat mengarahkan seseorang pada gaya hidup hedonis. Misalnya, jika seseorang berteman dengan seseorang yang terbiasa dengan gaya hidup mewah, kemungkinan besar mereka juga akan mengikuti gaya hidup di lingkaran pertemanannya. Menyikapi situasi tersebut, Amiruddin (2021) menyoroti betapa pentingnya mengajarkan nilai-nilai moral dalam pendidikan Islam kepada mahasiswa, agar mereka mampu untuk menghindari gaya hidup berlebihan dan lebih memprioritaskan kesederhanaan dalam kehidupan. Pentingnya menekankan pembentukan karakter Islami pada mahasiswa agar dapat membentuk kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam. Ini merupakan langkah untuk menahan pengaruh yang semakin kuat dari gaya hidup hedonistik di kalangan generasi muda Islam.
Akhlak sangat berkaitan terhadap sikap manusia dalam hubungannya dengan orang lain. Akhlak Islam juga didasarkan pada hubungan antara manusia dan Tuhan. Oleh karena itu, pembentukan akhlak Islami pada generasi muda tidak hanya berdampak pada mereka yang mempunyai keyakinan agama saja, namun juga kehidupannya ketika berinteraksi di masyarakat. Berbagai metode digunakan dalam membentuk konsep akhlak Islami di dunia pendidikan, termasuk salah satunya adalah pendekatan psikologis. Pendekatan ini, dikenal sebagai Psikologi Islam, merupakan salah satu jalur penelitian yang mengkaji permasalahan Islam.
Ketika manusia menjadi subjek penelitian, keselarasan antara psikologi dan Islam sangat tampak. Psikologi mengandalkan teori dan penelitian sebagai sumber data, sementara Islam memiliki bahan referensi yang disebut Al-Quran. Teori terpadu antara psikologi dan Islam membenarkan pengaitan kedua istilah ini. Teori ini juga menekankan pentingnya psikologi Islam sebagai metode untuk meningkatkan moralitas sebagai respons terhadap tantangan yang dihadapi oleh gaya hidup mahasiswa di era globalisasi. Oleh karena itu, penulisan artikel ini mengkaji peran konsep-konsep psikologi Islam dalam membentuk perilaku Islami pada mahasiswa. Harapannya, kajian ini diharapkan dapat memperluas pemahaman dalam ranah psikologi.
Akhlak dan Pembentukannya
Ketika memahami pendidikan akhlak, kita diajarkan untuk mengartikan kata “akhlak” itu sendiri sebagai “aklaq”, bentuk jamak dari kata Arab “akhlak”, “berperilaku”, dan “martabat”. Secara etimologis, Akhlak berarti budi pekerti, perangai, konstitusi moral. Frans Manis Suseno (1987), mengemukakan bahwa di era saat ini, ada tiga aspek penting dalam kehidupan manusia yang menjadi acuan untuk menentukan hal-hal yang perlu diubah dan dipertahankan. Aspek-aspek ini berperan sebagai arahan dan juga dapat menjadi jawaban untuk menghadapi berbagai aliran pemikiran lain yang berkembang seperti materialisme, nihilisme, hedonisme, radikalisme, marxisme, sekularisme, dan lain sebagainya. Hal ini juga dapat dijadikan benteng pertahanan terhadap perilaku menyimpang akibat dampak negatif globalisasi.
Saat menilai moralitas seseorang, kita mempertimbangkan pandangan langsung dari individu dan komunitasnya. Karena sifat baik dan buruk bertentangan, keduanya tercermin dalam dua nilai yang berlawanan. Karakter manusia dalam pandangan psikologi Islam adalah bahwa individu atau komunitas yang positif timbul ketika nilai-nilai moral yang baik mengatur mereka. Sebaliknya, jika mereka dikuasai oleh nilai-nilai moral yang negatif, maka akan muncul individu dan komunitas yang memiliki sifat yang negatif juga.
Saat menilai moralitas seseorang, kita memerhatikan dampak yang langsung terlihat dari setiap individu dan kelompoknya. Pasalnya, moral yang baik dan buruk berada pada dua ujung nilai yang bertentangan dan tercermin dalam perilaku masing-masing. Karakter manusia menurut pandangan Psikologi Islami menyatakan bahwa kebaikan nilai-nilai moral dalam individu atau kelompok akan menghasilkan individu atau kelompok yang baik. Sebaliknya, jika nilai-nilai moral yang negatif mendominasi individu atau kelompok, maka akan terbentuk individu atau kelompok yang tidak baik.
Perilaku moral memiliki lima aspek utama. Pertama, perilaku moral merujuk pada tindakan yang melekat pada karakter seseorang. Misalnya, kecenderungan untuk menjadi dermawan tidak hanya menjadi bagian dari kepribadian, tetapi juga menjadi ciri yang membedakan individu tersebut dari yang lain. Namun, jika sikap dermawan hanya terjadi sesekali, tanpa konsistensi, maka individu tersebut tidak dapat disebut sebagai seseorang yang dermawan secara keseluruhan. Kedua, perbuatan moral bukanlah tindakan yang dilakukan secara spontan tanpa pikir panjang. Meskipun begitu, hal itu tidak berarti bahwa seseorang kehilangan kesadaran atau ingatan saat melakukan suatu tindakan. Saat bertindak, seseorang tetap dalam keadaan mental yang sehat dan sadar. Oleh karena itu, tindakan-tindakan refleksif seperti berkedip atau tersenyum tidak termasuk dalam ranah perbuatan moral. Ketiga, perbuatan moral adalah tindakan yang bersumber dari kemauan, pilihan, atau keputusan individu yang melakukannya. Ini menegaskan bahwa perilaku moral berasal dari internal seseorang tanpa adanya dorongan atau pengaruh dari luar. Jika seseorang melakukan sesuatu karena terpaksa, ditekan, atau diancam dari luar, maka itu tidak bisa dianggap sebagai suatu perbuatan moral.
Keempat, perbuatan akhlak harus dijalani dengan sepenuh hati dan tidak boleh sekadar berpura-pura. Lebih baik menahan diri dari menilai karakter seseorang sebagai baik atau buruk sebelum benar-benar yakin bahwa perilaku itu dilakukan dengan tulus tanpa adanya paksaan. Manusia bisa mahir dalam menyembunyikan diri atau berpura-pura, oleh karena itu, dibutuhkan konsistensi dan ketekunan dalam memahaminya secara berkelanjutan. Kelima, perbuatan akhlak harus dilakukan dengan tulus karena Allah, bukan demi mendapatkan pujian dari orang lain. Jika perilaku yang baik tidak bersumber dari niat yang tulus untuk Allah, maka seseorang tidak dapat disebut memiliki akhlak yang baik.
Para ahli sering menghubungkan pembentukan akhlak dengan tujuan pendidikan. Beberapa orang berpendapat bahwa esensi utama dari pendidikan adalah untuk membentuk karakter yang baik. Muhammad Athiyah al-Abrasyi dan Ahmad D. Marimba adalah dua contoh ahli yang mengemukakan pemikiran serupa. Al-Abrasyi berpendapat bahwa esensi pendidikan Islam adalah membentuk budi pekerti dan akhlak yang baik, sementara Marimba menyatakan bahwa inti pendidikan Islam adalah menjadikan seseorang sebagai hamba Allah yang menganut agama Islam (Hasan, 2019).
Pembinaan Akhlak Melalui Pendekatan Psikologi Islam
Karakteristik Islam yang memandang manusia sebagai sesuatu yang hakiki membenarkan urgensi psikologi Islam sebagai pendekatan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan manusia. Seperti yang telah dipaparkan bahwa pengaruh hedonisme secara signifikan memengaruhi pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, memberikan dampak yang besar terhadap sifat dan tindakan masyarakat, terutama para pelajar.
Dalam risetnya, Suwarno menjelaskan bahwa kemajuan cepat dalam ilmu. pengetahuan dan teknologi berpengaruh pada masyarakat yang merasakan keuntungannya. Pengaruh ini terlihat dari pola pikir masyarakat yang selama ini dilakukan secara manual, kini berubah menjadi pola pikir modern yang hanya menggunakan komputer. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipengaruhi oleh globalisasi menuntut perlunya usaha untuk membentuk nilai-nilai akhlak Islami di kalangan masyarakat, terutama di lingkungan pelajar dan generasi muda.
Psikologi Islam menggunakan beberapa cara untuk membentuk akhlak Islami, termasuk pendekatan hukum, metode pembiasaan, dan pendekatan penasehatan. Penerapan ketiga metode ini sangat penting dalam lingkungan perkuliahan, terutama dalam hubungan antara dosen dan mahasiswa. Namun, yang paling penting bagi dosen dan mahasiswa adalah memiliki keterampilan yang memadai.
Penggunaan metode psikologi Islam dalam memotivasi mahasiswa yang dapat memberikan manfaat yang positif bagi perkembangan mahasiswa. Keteladanan, pembiasaan, dan konseling, memiliki efek menguntungkan bagi mahasiswa. mahasiswa merasa terdorong secara personal untuk meningkatkan kebiasaan melakukan perbuatan baik. Bahkan dengan metode ini, mahasiswa sebenarnya sangat menghormati gurunya. Dengan menggunakan metode pembiasaan, mahasiswa menjadi terbiasa berperilaku positif. Teknik konseling dapat lebih membentuk semangat belajar mahasiswa melalui nasehat dan perkataan yang baik. Hal ini karena mahasiswa lebih cenderung menerimanya, meninggalkan kesan pada diri mereka, dan termotivasi untuk meningkatkan diri.
Dalam Jurnal Pembentukan Akhlak Mahasiswa, Astuti (2020) menguraikan bahwa penerapan psikologi Islam melalui pendekatan keteladanan, pembiasaan, dan bimbingan memiliki efek menguntungkan pada pembentukan akhlak mahasiswa. Astuti menjelaskan, metode keteladanan dapat mempengaruhi perilaku mahasiswa. Melalui metode pembiasaan, mahasiswa dapat terbiasa melakukan perbuatan baik dan merasakan dampak positif dari kebiasaan baik tersebut. Di sisi lain, teknik konseling sangat membantu dalam membangun kepribadian mahasiswa dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Pembinaan dengan Metode Keteladanan
Rujukan utama dalam pendidikan Islam adalah al-Quran dan hadis. Salah satu contohnya dapat ditemukan dalam QS. Al-Ahzab ayat 21, yang menjelaskan bahwa ketika kalimat "uswah" dikaitkan dengan kalimat "hasanah," itu menggambarkan sebuah contoh yang baik. Contoh ini sesuai untuk dijadikan pedoman dan diikuti, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Beliau memberikan teladan bagi individu dalam menjalankan ibadah, termasuk hubungan manusia dengan Tuhannya dan interaksi antar manusia. Teladan ini masih relevan saat ini dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan.
Ada dua cara yang terkait dengan pembinaan keteladanan: metode keteladanan direct atau secara langsung dan metode indirect atau secara tidak langsung. Metode keteladanan langsung melibatkan dosen yang secara konsisten menunjukkan contoh teladan yang baik kepada mahasiswa. Proses pendidikan karakter ini harus berlangsung secara terus-menerus dengan pedoman dan praktik yang konsisten. Di sisi lain, metode keteladanan tidak langsung dilakukan dengan menyampaikan kisah-kisah tentang para rasul, utusan Allah, tokoh-tokoh besar, pahlawan, dan mereka yang gugur sebagai syuhada. Hal ini bertujuan agar mahasiswa dapat menyerap nilai-nilai dan menjadi contoh dalam menjalani kehidupan mereka. Dari rangkaian pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai tujuan membangun mahasiswa yang memiliki moral yang baik, dosen perlu menunjukkan perilaku nyata yang mempromosikan akhlak yang baik secara konsisten kepada mahasiswa (Alghazali dan Sa’adah, 2017).
Dengan demikian pembentukan akhlak Islami merupakan langkah yang sangat diperlukan dalam rangka mencetak peserta didik yang berkarakter Islami. Salah satu cara mengatasi permasalahan itu ialah dengan menerapkan prinsip-prinsip psikologi dalam konteks Islam. Psikologi Islam melihat manusia sebagai makhluk yang memiliki beragam dimensi, termasuk unsur fisik, psikologis, sosial, moral, dan spiritual. Sudut pandang yang luas ini menegaskan pentingnya psikologi Islam dalam membentuk karakter Islami di antara mahasiswa. Selain itu, memperoleh karakter yang baik juga melibatkan upaya untuk memperluas pengetahuan. Pengetahuan sering kali diperoleh melalui berbagai usaha manusia, seperti pengalaman pribadi, refleksi pikiran, panca indera, dan insting, yang digunakan untuk memahami sesuatu tanpa fokus pada objek tertentu.
*Mahasiswa Psikologi Islam UIN Raden Mas Said Surakarta