Oleh: Nufi Asii Fairuziyyah*
Di balik keberhasilan sekolah inklusi yang menjunjung tinggi keadilan pendidikan, berdirilah para pemimpin yang tak hanya mengelola sistem, tetapi juga menyalakan api nilai-nilai kemanusiaan di ruang belajar. Di barisan terdepannya, hadir perempuan-perempuan tangguh yang menahkodai lembaga pendidikan inklusi dengan satu kualitas kunci: hardiness—daya tahan psikologis yang membuat mereka bukan sekadar bertahan di tengah tekanan, tetapi juga mampu mentransformasi tantangan menjadi peluang dan kekuatan kolektif.
Namun realitas sosial masih menempatkan mereka di medan ganda: memimpin sambil terus membuktikan diri di tengah stereotip gender dan beban peran domestik yang kerap melekat erat pada figur perempuan. Kepemimpinan perempuan di sekolah inklusi dengan demikian bukan semata soal manajemen administratif, melainkan juga perjuangan simbolik untuk mendobrak sekat peran tradisional. Mereka merajut visi inklusi, menjembatani kebutuhan beragam siswa, dan memastikan kebijakan berjalan adil bagi semua pihak.
Maka memahami hardiness tidak lagi cukup dipandang sekadar sebagai konsep psikologi individual. Ia harus dibaca sebagai langkah strategis, sebagai modal sosial yang memungkinkan ketangguhan perempuan menjadi kekuatan transformasi—menggerakkan perubahan sosial yang dimulai dari ruang kelas, ruang guru, hingga kebijakan di tingkat lembaga. Dari sinilah masa depan pendidikan inklusi yang lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan terus ditenun.
Menafsir Tantangan Sekolah Inklusi dari Perspektif Kepemimpinan Perempuan
Sekolah inklusi tidak hanya menerima siswa berkebutuhan khusus, melainkan menuntut reformasi mendasar dalam paradigma pendidikan. Pemimpin sekolah inklusi harus menjawab tantangan multidimensi: dari kurikulum adaptif, pengembangan kompetensi guru, pengelolaan konflik, hingga komunikasi yang inklusif terhadap semua pihak. Ketika kepemimpinan ini dijalankan oleh perempuan, tantangan tersebut menjadi berlapis. Selain menghadapi kompleksitas struktural, mereka juga berhadapan dengan prasangka sosial yang mempertanyakan otoritas dan kompetensinya sebagai pemimpin.
Perempuan sering kali dituntut untuk tampil dua kali lebih baik hanya untuk dianggap “setara”. Di sinilah konsep hardiness—yang dikembangkan oleh Kobasa (1979)—menjadi sangat relevan. Terdiri dari tiga dimensi utama: commitment (komitmen), control (kontrol), dan challenge (tantangan), hardiness memungkinkan pemimpin untuk memaknai tekanan sebagai kesempatan bertumbuh, merasa bertanggung jawab atas situasi yang dihadapi, serta tetap terhubung secara emosional dan spiritual dengan tugasnya.
Penelitian penulis di salah satu sekolah menengah atas inklusi di Surakarta memperlihatkan bagaimana pemimpin perempuan mempraktikkan hardiness dalam keseharian kepemimpinan mereka. Pertama, dimensi komitmen tampak kuat dalam cara mereka menghidupi nilai-nilai inklusi bukan hanya secara profesional, tetapi juga secara personal dan spiritual. Komitmen ini bukan sekadar loyalitas terhadap pekerjaan, melainkan kesadaran mendalam bahwa pendidikan adalah hak semua anak. Para pemimpin ini hadir secara utuh—emosional, spiritual, dan sosial—menunjukkan dedikasi yang tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai yang mereka yakini.
Kedua, dimensi kontrol tercermin dari kemampuan mereka mengambil keputusan strategis dalam keterbatasan. Di tengah sumber daya yang terbatas dan tuntutan tinggi, mereka tidak terjebak dalam rasa tidak berdaya, melainkan aktif mencari solusi, membangun kerja sama, dan menetapkan arah yang jelas bagi lembaga. Dalam konteks Islam, sikap ini selaras dengan nilai amanah dan ijtihad, yang menuntut pemimpin untuk bertanggung jawab dan terus berusaha memperbaiki keadaan demi kemaslahatan bersama.
Ketiga, dimensi tantangan (challenge) muncul dalam cara mereka merespons hambatan sebagai pemicu inovasi. Ketika menghadapi kritik, tekanan, atau bahkan kegagalan, para pemimpin perempuan ini tidak mundur, melainkan melihatnya sebagai ruang belajar. Keberanian untuk menghadapi situasi baru, fleksibilitas dalam menyesuaikan strategi, serta ketekunan dalam mencari alternatif solusi menunjukkan bahwa mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang. Di sinilah nilai sabr (kesabaran) dan tawakkul (kepercayaan kepada Allah disertai ikhtiar) menjadi pondasi spiritual yang menguatkan dimensi psikologis hardiness mereka.
Dengan demikian, hardiness yang ditunjukkan oleh pemimpin perempuan di sekolah inklusi bukanlah ketangguhan yang kering dari makna, melainkan keteguhan yang menyatu dengan nilai-nilai personal, sosial, dan spiritual. Mereka menjadi contoh nyata bahwa daya tahan psikologis tidak semata-mata bersifat individualistik, tetapi tumbuh dari kesadaran akan tanggung jawab sosial dan keyakinan terhadap nilai-nilai luhur dalam kehidupan. Dalam konteks inilah, kepemimpinan perempuan di sekolah inklusi menjadi tidak hanya efektif secara struktural, tetapi juga bermakna secara moral dan transformatif.
Ketangguhan yang Terlahir dari Hablun Minallah, Hablun Minannas dan Prinsip Diri
Hardiness pada pemimpin perempuan tidak hanya bersumber dari pelatihan formal atau pengalaman kerja, tetapi juga dari kedalaman spiritualitas dan pengalaman hidup mereka sebagai perempuan sebelum terjun pada ranah kepemimpinan. Dalam wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini, beberapa responden mengungkapkan bahwa kekuatan utama mereka berasal dari prinsip diri, baik melalui doa, keikhlasan, serta dukungan keluarga dan pengalaman hidup yang berpengaruh pada kepemimpinannya.
Prinsip diri dan hubungan antar manusia dengan manusia atau dalam bahasa arab disebut hablum minannas seperti dukungan sosial dan hubungan antar manusia dengan Allah atau dalam bahasa arab disebut hablum minallah seperti spiritualitas seorang pemimpin perempuan menjadi penopang utama dalam menjaga keseimbangan emosi dan memperkuat motivasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Pargament (2001), spiritual coping merupakan mekanisme penting dalam menghadapi stres berat, terutama dalam konteks kerja yang penuh tantangan seperti sekolah inklusi. Hal ini menegaskan bahwa keberhasilan seorang pemimpin tidak hanya ditentukan oleh keterampilan teknis, tetapi juga oleh kecerdasan spiritual, emosi dan kekuatan batin yang mendalam.
Lebih lanjut sejalan dengan teori coping dari Lazarus & Folkman (1984) yang menekankan pentingnya proses internalisasi pengalaman dalam membentuk mekanisme adaptif terhadap stres. Begitu juga dengan penelitian oleh Floyd dan Wooldridge (1997) yang menunjukkan bahwa manajer menengah memainkan peran penting dalam inovasi dan implementasi strategi, namun mereka seringkali mengalami tekanan peran yang tinggi karena harus menyelaraskan dua arah otoritas.
Dalam konteks Indonesia, di mana budaya kolektivistik dan nilai-nilai spiritual berperan besar, hardiness tidak hanya bersifat individual. Banyak pemimpin perempuan menemukan sumber daya batin dalam praktik spiritual dan komunitas sosial yang suportif. Nilai-nilai seperti ikhlas, sabar, dan tawakal bukan sekadar ekspresi religius, tetapi juga bentuk dari control dan challenge dalam bingkai lokal. Hal ini diperkuat oleh temuan dalam penelitian, yang menunjukkan bahwa pengalaman spiritual dan dukungan sosial dari komunitas sekolah turut memperkuat resiliensi dan daya juang pemimpin. Artinya, hardiness dalam konteks ini bersifat relasional—ditopang oleh jejaring sosial dan nilai-nilai kultural yang hidup. Temuan ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan holistik dalam memahami kepemimpinan perempuan—pendekatan yang mengakui peran nilai-nilai religius, pengalaman emosional, dan dimensi sosial dalam membentuk daya tahan psikologis.
Refleksi Kepemimpinan Perempuan dan Masa Depan Pendidikan Inklusi
Hardiness tidak lahir begitu saja, tetapi tumbuh melalui kesadaran akan tanggung jawab, akumulasi pengalaman, dukungan sosial yang saling menguatkan, serta makna hidup yang terinternalisasi dengan kuat. Dalam konteks sekolah inklusi, kualitas ini menjadi modal penting untuk membangun budaya pendidikan yang benar-benar inklusif, adil, dan menghargai keragaman setiap individu. Ketangguhan yang dimiliki para pemimpin sekolah inklusi terbukti berkontribusi nyata: mendorong tim lembaga bekerja lebih terbuka, kolaboratif, dan responsif terhadap kebutuhan semua pihak.
Gambaran hardiness pada pemimpin sekolah inklusi membuktikan bahwa ketangguhan mampu menjelma menjadi energi kolektif. Ia bukan sekadar benteng pertahanan individu, tetapi juga motor penggerak perubahan. Para pemimpin perempuan ini telah menyalurkan daya tahannya ke dalam kerja tim, membuka ruang dialog, memecah sekat birokrasi, dan mendorong terciptanya suasana sekolah yang lebih terbuka, kolaboratif, dan penuh empati.
Sejatinya, pemimpin perempuan di sekolah inklusi tengah memikul dua misi besar: mendobrak hambatan struktural yang selama ini membelenggu akses pendidikan setara, sekaligus menghidupkan nilai-nilai keadilan sosial di level praksis. Dengan hardiness, mereka tidak hanya bertahan di tengah tekanan, tetapi juga mentransformasikan tantangan menjadi peluang untuk membangun sistem pendidikan yang lebih manusiawi—tempat setiap anak, tanpa terkecuali, dapat tumbuh dengan bermartabat.
Ke depan, upaya memperkuat hardiness seharusnya menjadi bagian integral dari strategi pengembangan kepemimpinan pendidikan. Pendampingan psikologis, pelatihan berbasis refleksi kritis, serta pembentukan komunitas praktik antar-pemimpin perlu dirancang secara berkelanjutan. Sebab, keberadaan pemimpin perempuan yang tangguh, berdaya lenting, dan penuh empati adalah aset berharga bagi masa depan pendidikan Indonesia yang lebih adil. Mereka bukan sekadar pengelola lembaga, tetapi penentu arah masa depan tim, guru, dan anak-anak yang kerap terpinggirkan.
Di balik ketangguhan itu, kita pun perlu jujur mengakui: hardiness tidak tumbuh dari ruang kosong. Ia lahir dari proses panjang—tertatih melewati kegagalan, bangkit dari keterbatasan, belajar memaknai tekanan sebagai peluang pertumbuhan, lalu menjadikannya strategi untuk menapaki jalan baru. Dalam konteks ini, hardiness bukan tujuan final, tetapi proses menjadi pribadi yang sadar, reflektif, dan aktif membentuk narasi hidupnya sendiri. Hardiness adalah kepemimpinan yang transformatif: bergerak dari pengalaman personal menuju perubahan struktural.
Namun demikian, penting untuk menegaskan bahwa ketangguhan bukan berarti meniadakan kelemahan. Tuntutan untuk selalu kuat, jika tidak diimbangi dengan ruang rehat dan dukungan, justru berbahaya. Kelelahan emosional dan beban kerja berlebih bisa menenggelamkan semangat yang telah susah payah dibangun. Oleh sebab itu, membangun hardiness harus sejalan dengan menjaga keseimbangan hidup: menyediakan ruang bernafas, memelihara praktik spiritual, saling menopang dalam komunitas suportif, dan berani mengakui keterbatasan. Keberanian untuk berhenti sejenak, meminta pertolongan, atau sekadar berbagi beban justru adalah wujud nyata dari ketangguhan itu sendiri.
Pada akhirnya, hardiness bukan hanya tentang bertahan secara individu, tetapi tentang menyalurkan daya tahan itu menjadi daya dukung kolektif. Pemimpin perempuan yang tangguh melahirkan ekosistem sekolah yang sehat: menciptakan ruang aman bagi guru untuk bersuara, memberi kesempatan bagi siswa berkebutuhan khusus untuk mengekspresikan diri, serta memperjuangkan kebijakan yang lebih manusiawi. Dalam tindakan kecil—seperti mendengar dengan sungguh-sungguh, membuka pintu dialog, atau melindungi hak-hak yang rentan terabaikan—tercermin semangat kepemimpinan inklusif yang nyata. Ketangguhan semacam inilah yang secara perlahan, namun pasti, akan menumbuhkan perubahan sosial dari jantung ruang pendidikan.
Sebagai penutup, pengalaman para pemimpin perempuan di sekolah inklusi menunjukkan bahwa hardiness bukan sekadar kemampuan bertahan di tengah tekanan, tetapi juga kekuatan psikologis yang mendorong perubahan. Ketangguhan berpadu dengan empati menjadikan kepemimpinan mereka bukan hanya soal memegang kuasa, melainkan soal bagaimana menguatkan diri sendiri dan orang lain dalam menghadapi tantangan. Dengan komitmen, kontrol, dan orientasi pada tantangan, mereka membuktikan bahwa kepemimpinan perempuan berlandaskan hardiness mampu menepis stereotip, membuka ruang dialog, dan menumbuhkan budaya sekolah yang lebih inklusif dan manusiawi. Di sinilah letak harapan: pendidikan yang adil hanya mungkin lahir dari pemimpin yang tangguh, reflektif, dan berakar pada nilai kemanusiaan.
*Mahasiswa Psikologi Islam Angkatan 2021