Oleh: Nazla Audilla*
Di banyak pondok pesantren tradisional di Indonesia, Kitab Alfiyyah Ibnu Malik bukan sekadar teks pelajaran, melainkan tonggak intelektual yang mengokohkan tradisi keilmuan Islam. Disusun dalam bentuk nazam dengan 1002 bait oleh Syaikh al-‘Allamah Ibnu Malik, kitab ini diajarkan dengan pendekatan hafalan—sebuah metode yang menuntut kesungguhan lahir dan batin. Lebih dari sekadar memuat kaidah nahwu, bait-bait Alfiyyah menanamkan nilai sabar, tekun, dan ketangguhan mental. Tidak semua santri sanggup memikul beban spiritual dan intelektual ini. Karena itu, bagi mereka yang berhasil menamatkan hafalannya, Alfiyyah adalah lambang prestasi. Ia menjadi bukti sah bahwa gelar thalibul ‘ilmi bukan sekadar gelar, tetapi gelar kehormatan bagi penjaga warisan ilmu yang terus mengalir lintas generasi.
Namun di balik cahaya kemasyhuran kitab kuning ini, tersimpan beban batin yang jarang disadari. Para santri penghafal Alfiyyah menjalani hari-hari di fase paling rentan. Ketika teman sebaya di luar pondok asyik menikmati dunia gatget dan media sosial, mereka memilih membungkam kantuk, menyusuri bait-bait syair di sepertiga malam. Menghafal Alfiyyah bukan perkara sekejap, melainkan perjalanan sunyi yang menuntut kesabaran dan ketangguhan jiwa. Di titik inilah kepribadian tangguh - Hardiness- menjadi bekal utama. Dalam senyap mereka bergulat, hingga tubuh pun ikut memberi tanda kantuk yang tak kunjung datang, nafsu makan yang menurun, dan sakit kepala yang sesekali menyergap tanpa permisi. Namun justru dari tekanan itulah, karakter mereka ditempa. Menghafal Alfiyyah tak sekadar menyimpan ribuan bait di kepala, tapi juga membangun kekuatan dalam diam, kekuatan yang akan menjadikan mereka pribadi tangguh di tengah zaman yang bising.
Hardiness: Pilar Tangguh di Tengah Tekanan
Konsep hardiness atau ketangguhan mental pertama kali diperkenalkan oleh Suzanne C. Kobasa pada tahun 1979 saat meneliti mengapa sebagian orang tampak kebal terhadap stres kronis, sementara yang lain justru mudah ambruk; menurut Kobasa, hardiness terdiri dari tiga pilar utama yaitu komitmen (commitment), kontrol (control), dan tantangan (challenge), di mana individu yang memiliki ketangguhan ini secara aktif terlibat dalam hidupnya, merasa memiliki kendali meski terbatas, serta memandang perubahan sebagai peluang, bukan ancaman sehingga mereka lebih mampu mengatasi tekanan fisik dan mental serta lebih efektif dalam menghadapi situasi penuh tantangan seperti proses menghafal.
Namun, di pesantren, konsep ini tidak sekedar teori psikologi modern, tapi menyatu dengan nilai Islam seperti sabar, istiqamah, dan ikhlas. Al-Qur’an menegaskan bahwa hidup adalah ujian, dan hanya orang sabar yang akan menemukan jalan keluar. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat” (QS. Al-Baqarah ayat 214)
Ketangguhan mental, yang dalam tradisi Islam dikenal sebagai ketabahan dan kesabaran, adalah kunci dalam menghadapi berbagai ujian kehidupan. Dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim, Imam Az-Zarnuji menulis:
لِكُلٍّ إِلىَ شَأْوِ الْعُلَا حَرَكَاتُ وَلكِنْ عَزِيْزٌ فىِ الرِّجَالِ ثباتُ
“Setiap orang memiliki keinginan untuk meraih kemuliaan, namun sangat jarang di antara mereka yang benar-benar memiliki sifat sabar, tabah, dan ulet.”
Dalam proses menuntut ilmu, seorang pelajar dituntut untuk menahan hawa nafsunya dan bersabar dalam menghadapi kesulitan. Sebagaimana nasihat Ali bin Abi Thalib, ilmu tidak akan diraih kecuali dengan enam hal: berpikir, semangat, sabar, bekal, bimbingan guru, dan waktu yang panjang. Dengan demikian, menghafal Alfiyyah bukan hanya soal kemampuan mengingat ribuan bait, tetapi juga menjadi latihan spiritual yang melatih keteguhan hati, kedisiplinan diri, dan memperkuat fondasi keimanan dalam diri seorang santri.
Tantangan Ganda: Kuliah dan Kitab Kuning
Penelitian peneliti di Pondok Pesantren Al-Fattah Kartasura menunjukkan dinamika yang cukup kompleks dalam keseharian para santri yang juga berstatus mahasiswa. Pagi hari mereka mengikuti perkuliahan di kampus; belajar psikologi, hukum, atau pendidikan, lalu kembali ke rutinitas pesantren di sore dan malam hari; halaqah kitab kuning, setor hafalan, diskusi tafsir, hingga tugas kebersihan/piket. Dalam padatnya aktivitas ini, banyak santri merasa kewalahan. AA, misalnya, baru menghafal 100 bait karena waktunya habis untuk kuliah. RMA sudah mencapai 310 bait, namun jarang sempat mengulang hafalan. Sebaliknya, MYA dan RAS, yang telah hafal lebih dari 400 bait tampak lebih tenang karena memiliki jadwal yang tertata dan kedisiplinan yang konsisten. Perbedaan tersebut tak lepas dari adanya dukungan sosial, strategi koping Islami, dan tujuan belajar yang jelas. Santri yang tangguh biasanya memiliki lingkungan yang mendukung, guru yang membimbing dengan sabar, dan semangat belajar yang dilandasi nilai spiritual: bahwa ilmu bukan hanya untuk dihafal, tetapi untuk diamalkan.
Selain beban hafalan, mereka juga menghadapi kendala memahami teks Arab klasik serta tekanan batin saat target belum tercapai. Meskipun pengalaman mereka beragam, tampak pola yang serupa yakni kemampuan untuk bertahan, beradaptasi, dan terus berproses. Temuan ini memperkuat bahwa kepribadian tangguh yang ditandai dengan komitmen, kontrol diri, dan cara pandang positif terhadap tantangan menjadi fondasi batin yang membuat mereka tetap teguh menjalani dua dunia sekaligus: dunia akademik dan dunia pesantren.
Ketangguhan yang Dibentuk, Bukan Diberi
Perlu diingat, ketangguhan mental bukan sesuatu yang langsung dimiliki sejak lahir. Ketangguhan itu terbentuk dan berkembang karena pengaruh lingkungan sekitar. Pondok pesantren seperti Al-Fattah bukan hanya tempat belajar kitab kuning, tapi juga tempat membentuk karakter. Mulai dari bangun pagi subuh sampai belajar malam, semuanya melatih kedisiplinan. Menghafal juga membantu melatih ingatan sekaligus memperkuat mental. Kehadiran senior, ustadz, dan kyai memberikan dukungan moral serta menjadi contoh teladan yang baik.
Penelitian Karimah et al.(2021) menunjukkan bahwa tingkat ketangguhan santri masih tergolong sedang. Artinya, walau sudah berlatih, banyak santri masih butuh bimbingan lebih agar bisa mengubah stres jadi semangat belajar. Penelitian Nafisah (2020) juga mengungkap bahwa faktor dari dalam diri seperti rasa percaya diri dan dukungan dari lingkungan sangat saling memengaruhi. Tanpa dukungan yang baik, tekanan dari tugas hafalan bisa berubah menjadi beban berat yang sulit diatasi.
Menghafal Alfiyyah: Latihan Spiritual dan Mental
Apa istimewanya Alfiyyah? Kitab Alfiyyah karya Ibnu Malik bukan hanya mengajarkan tata bahasa Arab, melainkan merangkum ‘seni berbahasa’ Arab klasik dalam bentuk syair yang puitis. Dalam sejarahnya, Ibnu Malik pernah berhenti menulis pada bait ke-5 karena merasa terhambat oleh keangkuhan batin yang melanda dirinya. Kisah ini mengingatkan bahwa ilmu tanpa kerendahan hati hanya akan berujung buntu. Semangat itulah yang diwariskan kepada para santri pesantren: menghafal Alfiyyah bukan sekadar menyelesaikan seribu bait, tetapi juga proses menundukkan ego dan menaklukkan diri sendiri.
Lewat lima tema temuan penelitian— tekanan hafalan, hambatan bahasa Arab, dukungan sosial, strategi coping Islami, dan motivasi target— jelas bahwa para santri tidak berjalan sendirian. Ketangguhan muncul dari kombinasi faktor: niat pribadi, strategi belajar yang realistis, dukungan teman sebaya, serta suasana pondok yang menumbuhkan semangat fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan).
Sebuah kisah menarik terkait proses penulisan Alfiyyah terjadi ketika Ibnu Malik tiba-tiba berhenti pada bait ke-5:
وتقتضى رضا بغير سخط # فائقة ألفية ابن معط
Ia kemudian mengunjungi makam gurunya, Ibnu Mu’thi, dan dalam mimpinya bertemu sang guru. Dalam pertemuan itu, Ibnu Mu’thi bertanya:
“Wahai muridku! Aku mendengar engkau sedang mengarang kitab Alfiyyah dalam ilmu nahwu, benar?”
Ibnu Malik menjawab: “Benar, wahai Syekh.”
Ibnu Mu’thi bertanya lagi: “Sampai mana engkau menulis nazam tersebut?”
Ibnu Malik menjawab: “Sampai faiqatan minha bi alfi baiti, wahai Syekh.”
Ibnu Mu’thi kemudian bertanya: “Apa yang membuat engkau tidak menyempurnakannya?”
Ibnu Malik menjawab: “Sudah beberapa hari aku tidak bisa menulis, wahai Syekh.”
Ibnu Mu’thi lalu melanjutkan bait tersebut:
فائقة منه بألف بيت # والحي بغلب ألف ميت
“Mengungguli Alfiyyah Ibnu Mu’thi dengan seribu bait, dan orang yang masih hidup bisa mengalahkan seribu orang mati.”
Setelah terbangun, Ibnu Malik menyadari bahwa ia terhenti menulis karena secara tidak sadar menunjukkan sikap angkuh terhadap gurunya. Dengan kerendahan hati, ia menghapus bait tersebut dan melanjutkan penulisannya dengan semangat baru.
Mengapa Hardiness Santri Penting untuk Saat Ini?
Di tengah dunia yang makin digital, di mana gawai menawarkan hiburan instan dan anak muda cenderung kehilangan fokus, kisah santri penghafal Alfiyyah seolah menjadi oase yang menyejukkan. Mereka membuktikan bahwa belajar tidak bisa dipercepat dengan teknologi, tetapi harus ditanam dengan ketekunan, kesabaran, dan kedisiplinan. Hardiness-ketangguhan mental dan spiritual- adalah modal penting bagi generasi muda untuk bertahan dalam dunia yang serba cepat, bising, dan penuh godaan distraksi.
Bagi pesantren, temuan ini menjadi cermin penting: membangun kurikulum hafalan saja tidak cukup. Harus ada ruang konseling, pendampingan, dan bimbingan spiritual yang mendalam agar santri tidak terjebak dalam tekanan hafalan yang kaku dan stres akademik yang terpendam. Kyai, ustadz, dan para senior harus peka terhadap gejolak psikologis santri muda, dan mampu membimbing mereka dengan pendekatan yang bijak dan manusiawi. Dalam jangka panjang, pondok pesantren yang berhasil menumbuhkan hardiness tidak hanya akan melahirkan santri yang cakap dalam menghafal, tetapi juga pribadi tangguh yang siap menghadapi tantangan zaman, baik sebagai intelektual muslim, pemimpin masyarakat, maupun manusia yang kuat secara batin.
Menjaga Lentera Seribu Bait
Nilai tawakkal dan mujahadah dalam Psikologi Islam memperkuat prinsip hardiness; komitmen, kontrol, dan keberanian menghadapi tantangan. Bagi para santri, nilai-nilai ini bukan sekadar teori, tetapi hadir dalam praktik keseharian mereka saat menghafal Alfiyyah dan menjalani hidup di pesantren.
Jika kita bertanya: apa sebenarnya makna hardiness bagi seorang santri? Maka jawabannya mungkin terletak pada satu kata: kesanggupan bertahan. Seribu bait Alfiyyah hanyalah simbol. Yang lebih penting adalah jiwa tahan banting di baliknya, jiwa yang rela bangun sebelum fajar, menahan kantuk demi satu baris nazam, menaklukkan putus asa, dan tetap bersujud di sepertiga malam.
Hari ini, saat banyak anak muda kehilangan arah karena tekanan sosial dan distraksi digital, ketangguhan santri justru menjadi pelita. Di balik bait-bait syair kuno itu, tumbuh generasi yang sabar belajar, kuat menghadapi jatuh bangun, dan setia menapaki jalan ilmu. Seribu bait itu bukan sekadar hafalan, ia adalah lentera kecil yang menjaga nyala semangat, bahkan ketika diterpa gelap, lelah, dan sunyi.
*Mahasiswa Psikologi Islam angkatan 2021