Sekar Wulan Ndari Angger Noviyanti*
Individu dalam perjalanan kehidupan sehari-hari tidak dapat menghindari pengalaman kegagalan atau ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Kondisi ini seringkali menjadi pemicu timbulnya stres, suatu gangguan psikis yang memiliki dampak signifikan terhadap berbagai penyakit dan gangguan kesehatan. Berdasarkan penelitian, stres diketahui dapat menyumbang sekitar 50-70 persen terhadap timbulnya penyakit serius seperti penyakit kardiovaskular, hipertensi, kanker, penyakit kulit, infeksi, serta masalah metabolik dan hormonal (Hadinata, 2021). Oleh karena itu, penanganan dan pengelolaan stres menjadi kunci penting untuk meningkatkan kualitas hidup.
Pentingnya pemahaman akan dampak stres semakin menonjol pada kelompok emerging adult, yang sedang mengalami masa transisi dari remaja ke dewasa. Pada tahap awal emerging adulthood, stres dapat memicu perilaku bermasalah, seperti perilaku antisosial, kegagalan akademis, dan bahkan munculnya keinginan untuk menyakiti diri sendiri (Hasanah, 2019). Pada pertengahan periode ini, stres dapat berkontribusi pada permasalahan keluarga, disfungsi seksual, dan penyalahgunaan zat atau obat-obatan.
Emerging adulthood, sebagai periode transisi penting dari remaja menuju dewasa, dicirikan oleh usaha individu dalam mengeksplorasi jalur identitas, hubungan romantis, karier, dan kemandirian. Selama masa ini, individu berusaha untuk memahami diri mereka sendiri dan membuat pilihan hidup yang signifikan (Mada, 2020). Tantangan-tantangan selama masa ini, seperti eksplorasi identitas, ketidakstabilan, fokus pada diri sendiri, fase di antara, dan usia peluang, dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi hingga yang berujung misalnya intensi bunuh diri.
Faktor risiko seperti keputusasaan yang seringkali muncul akibat eksplorasi dalam menemukan identitas menjadi pemicu stres pada emerging adult. Namun, terdapat juga faktor protektif, seperti self-discovery melalui pentingnya religiusitas, yang dapat memberikan pencegahan terhadap munculnya fitur stres Penting untuk diakui bahwa manajemen stres bukanlah sekadar responsif terhadap stres, tetapi juga bersifat proaktif dalam mencegah dan mengatasi dampaknya. Berbagai teknik terapeutik, seperti psikoterapi, meditasi, pelatihan relaksasi, dan teknik penenangan pikiran, dapat diterapkan sebagai upaya pengelolaan stres.
Salah satu teknik yang telah terbukti dapat mengatasi stres adalah pendekatan Psikoterapi Islam, seperti sholat, dzikir, membaca Al-Quran, tasawuf, dan tawakal menambah dimensi spiritual dalam manajemen stres. Sholat, sebagai bentuk ibadah dalam Islam, tidak hanya memiliki dimensi spiritual tetapi juga dapat berfungsi sebagai metode psikoterapi yang efektif untuk mengatasi stres pada masa emerging adulthood. Pada periode ini, individu sedang menjalani transisi dari remaja ke dewasa, di mana mereka dihadapkan pada berbagai tuntutan dan ketidakpastian yang dapat menciptakan tingkat stres yang tinggi. Sholat melibatkan koneksi langsung dengan Tuhan, menciptakan momen refleksi dan kontemplasi. Aktivitas ini memberikan kesempatan untuk meningkatkan kesadaran diri dan menemukan ketenangan dalam hubungan dengan Sang Pencipta. Sholat memberikan kesempatan untuk berkomunikasi dengan Allah, meminta petunjuk, dan memohon kekuatan.
Dzikir melibatkan pengulangan kata-kata atau kalimat-kalimat yang memiliki makna spiritual. Proses ini dapat menginduksi keadaan relaksasi fisik dan mental. Dalam konteks psikoterapi, relaksasi seperti ini dapat membantu mengurangi ketegangan otot, menurunkan tingkat stres, dan menciptakan perasaan ketenangan. Hal ini dapat membantu individu pada masa emerging adulthood untuk merenung, mencari makna dalam hidup, dan mengatasi ketidakpastian. Dzikir sering kali melibatkan introspeksi dan peningkatan kesadaran diri terkait dengan hubungan dengan Tuhan. Hal ini dapat membantu individu pada periode emerging adulthood untuk lebih memahami diri mereka sendiri, nilai-nilai, dan tujuan hidup. Peningkatan kesadaran diri ini dapat menjadi dasar yang kuat untuk mengelola stres dan membuat keputusan hidup yang lebih baik.
Membaca Al-Quran dapat dianggap sebagai metode psikoterapi yang efektif untuk mengatasi stres pada periode emerging adulthood. Pertama, membaca Al-Quran dalam konteks ini dapat memberikan efek relaksasi dan ketenangan. Ayat-ayat Al-Quran sering kali diucapkan dengan nada yang menenangkan, membawa keadaan pikiran individu ke dalam keadaan yang lebih damai. Pengulangan bacaan, seperti dalam dzikir, dapat membantu meredakan ketegangan dan mengalihkan fokus dari stresor ke pemikiran yang lebih positif. Kedua, Al-Quran menyajikan nilai-nilai spiritual yang kuat (Al Kahfi & Hamidah, 2017). Membaca ayat-ayat Al-Quran memberikan individu pemahaman tentang makna hidup, tujuan eksistensi, dan harapan akan pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Hal ini dapat mengurangi perasaan kebingungan dan kecemasan mengenai masa depan, memberikan kerangka spiritual yang kokoh untuk mengatasi stres. Ketiga, membaca Al-Quran melibatkan refleksi diri. Banyak ayat-ayat Al-Quran mengajak individu untuk merenung, memahami diri sendiri, dan bersyukur atas nikmat-nikmat Tuhan (Arifuddin A. Pasinringi et al., 2022). Keempat, adanya proses belajar dan pengulangan dalam membaca Al-Quran dapat menjadi bentuk distraksi positif. Fokus pada aktivitas membaca dan memahami kalimat-kalimat suci ini dapat memberikan istirahat dari pikiran-pikiran yang menghasilkan stres.
Dalam emerging adulthood, di mana individu seringkali dihadapkan pada tuntutan yang kompleks, memiliki kegiatan positif sebagai distraksi dapat membantu mengelola stres dengan lebih efektif. Kelima, membaca Al-Quran juga membangun hubungan spiritual yang kuat. Hubungan ini bisa menjadi sumber dukungan dan ketenangan ketika individu menghadapi tekanan hidup. Merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dan memiliki makna dapat memberikan kekuatan dalam mengatasi stres yang muncul selama masa transisi ini. Dengan demikian, membaca Al-Quran bukan hanya merupakan bentuk ibadah, tetapi juga dapat diartikan sebagai metode psikoterapi yang menyeluruh untuk membantu individu mengatasi stres, khususnya pada fase emerging adulthood. Kemudian bertasawuf artinya, mengendalikan keinginan diri secara bertahap dengan maksud mencapai keaslian diri. Bertasawuf berarti menjalani perjalanan rohaniah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan hingga merasakan kedekatan yang penuh. Cara sufi mendekat (taqarrub) kepada Tuhan. Tasawuf merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang dimanfaatkan oleh sufi untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat. Ini dilakukan melalui metode tazkiyat an-nafs atau proses penyucian jiwa.
Tawakal merupakan sikap bergantung sepenuhnya kepada Allah SWT dalam segala hal, menyadari bahwa Dia adalah penyebab segala sesuatu. Bertawakal membawa ketenangan, kestabilan, dan ketentraman bagi orang mukmin, yang merasa bahwa kendali alam berada di tangan Allah. Tawakal merupakan manifestasi keyakinan dan ukuran tingkat keimanan seseorang. Meskipun seseorang bertawakal, bukan berarti tinggal diam; ia tetap diwajibkan berusaha, namun hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Tawakal memperkuat akidah, memungkinkan seseorang menyerahkan segala urusan kepada Allah dengan tenteram, tanpa keguncangan dalam menghadapi berbagai ujian hidup.
Dalam perjalanan kehidupan sehari-hari, stres menjadi tantangan yang signifikan, terutama pada kelompok emerging adult yang sedang mengalami masa transisi. Stres dapat memiliki dampak serius terhadap kesehatan fisik dan mental, sehingga manajemen stres menjadi kunci untuk meningkatkan kualitas hidup. Pemahaman akan dampak stres pada emerging adulthood, fase transisi dari remaja ke dewasa, menyoroti pentingnya strategi pengelolaan stres yang holistik.
Teknik psikoterapi, seperti meditasi, membaca Al-Quran, dan dzikir, dapat membantu individu mengatasi stres dengan pendekatan spiritual. Meditasi, dengan fokus pada pernapasan dan kesadaran penuh, telah terbukti efektif dalam mengurangi tingkat stres. Pemahaman dan praktik agama, seperti sholat, membaca Al-Quran, dan dzikir, memberikan dimensi spiritual yang kuat dalam manajemen stres. Sholat, sebagai bentuk ibadah dalam Islam, tidak hanya melibatkan aspek spiritual tetapi juga mengajarkan kendali emosional dan kebijaksanaan dalam menghadapi tekanan hidup.
Bertemu dengan kesulitan dan ketidakpastian selama emerging adulthood, individu dapat merasakan manfaat yang signifikan dari praktik tasawuf. Bertasawuf menjadi perjalanan rohaniah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, membawa individu pada pemahaman diri yang lebih dalam dan meresapi kedekatan dengan Sang Pencipta. Selain itu, sabar dan tawakal juga muncul sebagai faktor kunci dalam menghadapi tantangan hidup. Kesabaran tidak hanya memainkan peran sentral dalam kehidupan moral, tetapi juga menjadi obat untuk penyakit jiwa, membentuk sifat-sifat mulia dan perspektif positif terhadap ujian hidup. Sementara itu, tawakal membawa ketenangan dan kestabilan, dengan menyadari bahwa segala sesuatu berada di bawah kendali Allah (Nugraha, 2023).
Dengan merangkum teknik psikoterapi Islam dan konsep-konsep seperti sabar, tawakal, dan tasawuf, individu dapat mengembangkan pendekatan holistik untuk mengelola stres pada masa emerging adulthood. Dengan demikian, penanganan stres yang holistik dapat membantu individu menghadapi tekanan hidup, meraih kedamaian batin, dan meningkatkan kualitas hidupnya secara keseluruhan.
*Mahasiswa Psikologi Islam UIN Raden Mas Said Surakarta