Nala Aprilia*
Pada tanggal 27 Agustus – 2 September 2023, saya Nala Aprilia Mahasiswa Psikologi Islam UIN Raden Mas Said Surakarta terpilih untuk menjadi peserta International Climate Justice Camp di Lebanon. International Climate Justice Camp adalah sebuah acara yang berisi capacity building untuk aktivis lingkungan di seluruh dunia berkumpul, Camp ini memberikan ruang bagi pemuda untuk bertemu dan bekerja sama untuk keadilan iklim. Ada 450 Climate Leaders dari 100 negara yang berpartisipasi dan acara ini adalah hasil kolaborasi dari berbagai LSM internasional seperti 350.org, Amnesty International, CAN International, Fossil Fuel Non-Proliferation Treaty, Greenpeace Africa, Greenpeace MENA dan lainnya. Orang-orang yang berpartisipasi disana memberi kesan yang sangat Istimewa, walaupun memiliki jabatan yang sudah tinggi dan lulus dari perguruan tinggi dunia seperti Harvard University, kerendahan hatinya patut diancungi jempol, baju yang digunakan pun mengingatkan pada Mark (pencipta Facebook) yang selalu sederhana dan tentu saja ramah. Menanyakan kabar peserta satu sama lain adalah salah satu yang dirindukan karena setiap hari ketika berpapasan dengan peserta lain, selalu ada kalimah “How are you? How was your day?” yang membuat terciptanya keharmonisan layaknya rumah.
Acara ini diadakan terkait perubahan iklim yang merugikan banyak orang dan menghindari miss conception/ miss interpretation di antara banyaknya isu yang beredar di dunia. Mitosnya ilmuwan dianggap membuang-buang waktu dalam berpendapat mengenai suhu bumi yang berada diatas rata-rata diibaratkan seperti tidak ada artinya membahas hal tersebut. Padahal faktanya peningkatan temperatur atau suhu di bumi menyebabkan resiko yang besar. Mitos yang lain yaitu satu-satunya pihak yang memiliki peran dalam aksi iklim adalah ilmuwan walau pada kenyataannya semua orang dapat berperan dalam aksi iklim yang sesuai dengan kemampuan, minat dan latar belakang seperti pendidik, aktivis, pengusaha, peneliti, seniman, investor, komunikator dan lainnya.
Workshop bertemakan “Why Organizing Matter?” dilakukan agar peserta dapat menjadi pioner dalam membuat mengkoordinasi dan memobilisasi banyak orang sehingga terciptalah ilmu yang sama di antara banyak pihak dan tidak bercabang-cabang tanpa alasan yang jelas. Perbedaan mengkoordinasi dan mobilisasi. Terdapat perbedaan di antara dua istilah tersebut, mengkoordinasi artinya membawa orang-orang untuk ikut ke dalam kampanye yang diadakan oleh satu kelompok pada jangka waktu yang lama, contohnya seperti kampanye di sosial media, merubah sistem negara kepada sistem yang tidak merusak lingkungan dan berkelanjutan, sedangkan mobilisasi membawa orang-orang untuk ikut ke dalam kampanye yang diadakan oleh satu kelompok, tetapi dilakukakan pada jangka waktu yang pendek, seperti mengisi petisi, mengikuti kegiatan protes.
Plastik menjadi salah satu isu yang dibahas disana, apalagi Indonesia yang menempati peringkat 2 sebagai penghasil sampah terbanyak di dunia dan ternyata sampah yang dimiliki Indonesia bukan hanya dihasilkan oleh masyarakatnya sendiri, melainkan oleh negara lain yang membuangnya yang terdampar ke pesisir pantai-pantai Indonesia karena belum ada hukum yang membahas tentang batasan pembuangan plastik secara rinci sehingga negara lain melakukan hal seenaknya. Sampah plastik memberikan dampak buruk bagi manusia, mulai dari bahannya yang terbuat dari batu bara yang jika dibakar oleh warga akan menghasilkan dioxin yaitu zat beracun yang mengancam kesehatan manusia, lalu dibutuhkan waktu 200 tahun untuk terurai di tanah sedangkan umur manusia saja tidak ada yang bisa mencapainya, dan jika tidak dikelola dengan baik akan berserakan di mana-mana.
Sampah plastik memang bisa dibuat sebagai bahan untuk membuat tas atau printilan, tetapi apakah ada yang mau memakainya? Lalu sampah plastik juga dapat diolah menjadi kursi dan meja, tetapi apakah manusia membutuhkan barang tersebut setiap hari sedangkan banyak sekali pastinya produksi sampah plastik setiap hari, akan sebanyak apa kursinya nanti? Beralih kepada normalisasi pengurangan sampah plastik adalah salah satu cara yang bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia, karena hidup ramah lingkungan tidak akan merugikan siapapun.
Pada workshop yang berjudul “Youth Engagement in Climate Change Action” Menjadi seorang relawan adalah salah satu peran yang dirokemandasikan pemateri karena kebermanfaatan relawan akan diterima dengan baik oleh publik dan relawan pada umumnya memiliki hati yang tulus sehingga yang dilakukannya itu murni dari hati. Di sana juga diberitahu bagaimana membuat sebuah komunitas, pertama yaitu menentukan beberapa ide yang ingin dikembangkan, kedua pilih satu dari beberapa opsi yang dimiliki, ketiga membuat rencana terkait program komunitas yang ingin dijalankan, keempat memilih anggota atau member, kelima membuat struktur kepengurusan, keenam mulai merealisasikan program komunitas, ketujuh melohag progress dari apa yang dijalankan, kedelapan yaitu perhitungkan dampak yang dibuat sebagai bahan evaluasi. Jika di tengah perjalanan dalam menjalankan suatu komunitas merasa hilang arah, maka ingatlah kembali tujuan yang dibuat ketika diawal komunitas itu diciptakan dan seorang pemimpin tidak boleh bekerja sendiri, maksudnya adalah ketika pemimpin/ketua komunitas merasa kewalahan maka mintalah pertolongan kepada anggota yang lain karena seperti itulah seharusnya cara kerja suatu kelompok, membantu satu sama lain.
Selain workshop, terdapat beberapa acara lain seperti melukis karikatur pada patung yang berbentuk tangan sebagai simbol dari solidaritas, menulis harapan untuk bumi pada kain untuk digantung pada aula utama, refleksi kegiatan, menari tarian khas Lebanon. Ada satu kegiatan di mana para wanita bertemu dan bermeditasi bersama, dimulai dari menatap mata satu orang yang berada dihadapannya, memeluk, berpegangan tangan, bertukar cerita dan bertukar pesan lewat tulisan yang dibuat melalui kertas yang disediakan panitia.
Climate Justice Camp menjadi tempat untuk mengobarkan semangat dan meningkatkan empati, toleransi serta solidaritas antar umat manusia karena di bumi ini terdapat banyak sekali ragamnya mulai dari perbedaan agama, ras, suku, budaya, wilayah. Satu Impian dari semua peserta adalah mencari cara agar rumah yang ditempati tidak tergerus oleh dampak dari krisis iklim yang semakin menjadi-jadi. Bumi ini sebenarnya sudah tidak layak untuk dihuni, tetapi masih ada waktu untuk diperbaiki karena tidak ada planet lain yang nyaman untuk ditempati selain bumi. Maka dari itu, krisis iklim bukanlah sesuatu yang dilupakan begitu saja, tetapi permasalahan ini adalah isu dan tanggung jawab manusia untuk mmeperbaikinya demi mendapatkan masa depan yang baik-baik saja.
*Mahasiswa Psikologi Islam UIN Raden Mas Said Surakarta