Oleh: Retno Pangestuti*
Sebagai insan akademik di lingkungan Psikologi Islam, saya meyakini bahwa proses belajar bukanlah sekadar upaya menumpuk pengetahuan, tetapi juga sarana untuk memurnikan niat, menumbuhkan kepekaan, dan memelihara kerendahan hati. Ilmu—khususnya Psikologi Islam—bukan sekadar kumpulan teori, tetapi cermin tanggung jawab moral dan spiritual untuk menjawab persoalan kemanusiaan secara lebih holistik.
Dalam kerangka inilah, partisipasi kami dalam Workshop Islamic Psychology Curriculum yang diselenggarakan Asosiasi Psikologi Islam (API-HIMPSI) bekerja sama dengan International Association of Muslim Psychologists (IAMP) dan International Institute of Islamic Thought (IIIT) pada 30 Juni–2 Juli 2025 di Hotel Grand Rohan Yogyakarta, saya maknai bukan hanya sebagai representasi kelembagaan, tetapi juga sebagai langkah nyata Prodi Psikologi Islam UIN Raden Mas Said Surakarta dalam mewujudkan Visi Program Studi: Menjadi Program Studi yang Unggul dan Inovatif dalam Penyelenggaraan Pendidikan Psikologi Islam berbasis Akhlakul Karimah untuk Mewujudkan Kesejahteraan Psikologis Masyarakat Indonesia pada 2034.
Forum tiga hari ini membuktikan bahwa komitmen untuk menjadi Prodi yang unggul dan inovatif tidak dapat dilepaskan dari proses refleksi kritis, pembaruan kurikulum, serta upaya membumikan paradigma Psikologi Islam dalam praktik pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Hari Pertama: Menggugat Metode, Menguatkan Integritas Ilmu
Hari pertama workshop, yang dibuka dengan tema Scientific Method Revisited: Toward a Purpose-Driven Framework in Islamic Psychology oleh Dr. Bagus Riyono, bagi saya adalah tamparan kesadaran. Sebagai pendidik sekaligus peneliti, saya diajak merenung: sejauh mana metode ilmiah yang saya gunakan benar-benar memuliakan martabat manusia? Apakah pendekatan kuantitatif yang kaku sudah cukup membaca manusia sebagai makhluk berjiwa, berakal, dan berroh?
Diskusi dengan Prof. Nizar Alani semakin menguatkan perenungan ini. Ia menekankan bahwa reduksi manusia menjadi objek statistik saja adalah pengingkaran terhadap fitrah manusia sebagai khalifah fil ardh. Dalam paradigma positivistik, perilaku manusia sering direduksi bak perilaku hewan percobaan—mirip pola Skinner dalam behaviorism. Padahal, manusia punya kehendak bebas, etika, dan potensi spiritual, sebagaimana diingatkan QS. At-Tin: 4: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Kesadaran ini menjadi dasar mengapa Misi pertama Prodi, yaitu menyelenggarakan pendidikan Psikologi Islam berbasis akhlakul karimah sangat relevan. Mahasiswa tidak cukup hanya pandai statistik atau metode eksperimen, tetapi harus memahami batas etika, integritas akademik, dan menjunjung nilai wahyu. Ini juga menjadi pengingat bahwa Misi kedua, yaitu menyelenggarakan penelitian yang mengintegrasikan psikologi, nilai Islam, dan kearifan lokal bukan sekadar jargon, tetapi tuntutan mendesak di era krisis makna.
Hari Kedua: Kembali ke Wahyu, Merumuskan Paradigma
Memasuki hari kedua, materi Back to Revelation: Rebuilding from Islamic Foundation dan Reflecting through Revelation: Returning to the Human Essence membuka ruang kontemplasi lebih dalam. Saya menangkap pesan penting: Psikologi Islam tidak akan pernah punya identitas kuat jika hanya menempelkan label Islam pada teori Barat. Kita tidak cukup hanya menempelkan terminologi Arab di sampul buku teks, lalu tetap menggunakan kerangka epistemologi Barat tanpa kritik mendasar.
Seruan untuk reflecting through revelation menegaskan bahwa wahyu adalah sumber utama pengetahuan yang menghidupkan hati dan pikiran. Dalam konteks visi Prodi, inilah yang akan membuat Prodi Psikologi Islam menjadi unggul—karena punya paradigma yang berdiri di atas pondasi nilai, bukan sekadar tren akademik. Know-how harus diiringi know-why; mahasiswa Psikologi Islam didorong tidak hanya pintar praktik asesmen atau konseling, tetapi juga memahami tujuan sejati intervensi psikologis: mengantar manusia pada kematangan spiritual.
Di sinilah penelitian dan publikasi menjadi instrumen strategis. Penelitian bukan sekadar kewajiban akreditasi, tetapi wujud pengabdian ilmiah untuk menemukan pendekatan baru, instrumen baru, hingga model intervensi baru yang sejalan dengan maqashid syariah. Poin ini jelas berkelindan dengan Misi kedua Prodi.
Hari Ketiga: Dari Paradigma ke Aksi Nyata
Sesi penutup dengan tema Shaping the Future of an Islamic Psychology: From Paradigm to Practice bagi saya menjadi jembatan penghubung: bagaimana gagasan besar Psikologi Islam tidak berhenti di seminar, tetapi masuk ke ruang kelas, ruang praktik, hingga kebijakan publik.
Materi Maqasid Methodology yang disampaikan Dr. Bagus Riyono menjelaskan bahwa tujuan akhir ilmu dalam Islam adalah memelihara lima pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Psikologi Islam semestinya berfungsi memelihara kesehatan mental umat, memperkuat fondasi keluarga, dan merajut harmoni sosial. Ini sesuai dengan Misi ketiga Prodi, yaitu menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat yang inovatif, responsif, dan tepat guna.
Saya melihat inilah ruang bagi Prodi untuk mendesain kurikulum yang benar-benar membumikan Psikologi Islam. Bukan sekadar teori, tetapi juga pelatihan lapangan, layanan konseling Islami, pemberdayaan keluarga berbasis nilai agama, hingga advokasi kebijakan publik yang mendukung kesejahteraan psikologis masyarakat Indonesia.
Penandatanganan MoA: Komitmen dan Kolaborasi
Penandatanganan Memorandum of Agreement (MoA) antara API-HIMPSI dan IAMP menutup forum ini dengan harapan besar: membangun Psikologi Islam bukan hanya tanggung jawab satu kampus, tetapi ikhtiar kolektif lintas lembaga, lintas generasi, dan lintas negara. Ini adalah bukti konkret Misi keempat Prodi, yaitu menyelenggarakan kerjasama produktif dan bermanfaat untuk pengembangan Psikologi Islam secara berkelanjutan.
Kolaborasi lintas negara juga menunjukkan bahwa Prodi Psikologi Islam tidak boleh inferior di tengah arus globalisasi. Kita tidak harus selalu berada di posisi penerima wacana. Sebaliknya, Psikologi Islam punya peluang menjadi kontributor gagasan di panggung akademik global. Mahasiswa dan dosen didorong untuk aktif menulis, meneliti, dan menerbitkan karya yang membawa perspektif Psikologi Islam pada tataran dunia.
Menjaga Nyala Visi 2034
Workshop tiga hari ini memang bukan akhir, tetapi milestone penting untuk terus menapaki jalan panjang. Saya sadar bahwa mewujudkan visi Menjadi Program Studi yang Unggul dan Inovatif tidak cukup hanya dengan seminar satu-dua kali. Diperlukan komitmen panjang: merancang kurikulum yang visioner, membangun budaya riset yang berakar pada nilai wahyu, menghidupkan pengabdian masyarakat yang nyata, serta menenun jejaring kolaborasi yang produktif.
Partisipasi UIN Raden Mas Said Surakarta dalam forum ini menjadi bukti nyata bahwa komitmen untuk membumikan Psikologi Islam harus diwujudkan melalui kebijakan kurikulum, riset, dan publikasi ilmiah yang berkesinambungan. Saya membayangkan suatu masa di mana mahasiswa Psikologi Islam di kampus kami tidak hanya akrab dengan teori-teori Barat seperti Freud, Skinner, atau Maslow, tetapi juga mendalami pemikiran para cendekiawan Muslim seperti Al-Ghazali, Ibn Sina, Al-Balkhi, dan Ibn Miskawaih yang telah lama merumuskan konsep jiwa, akhlak, dan kesehatan mental.
Pemikiran klasik ini harus diintegrasikan dengan gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Malik Badri, Zakiah Daradjat, dan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Hal ini penting agar Psikologi Islam tidak berhenti sebagai wacana normatif, tetapi mampu menjawab tantangan dan relevansi kontemporer.
Mahasiswa Psikologi Islam perlu mengenal dan mengkaji konsep-konsep mendasar seperti nafs, qalb, ruh, dan akal, teori jiwa dalam Al-Qur’an, serta bagaimana pendidikan dan lingkungan dapat memengaruhi fitrah manusia. Perspektif ini akan memperkaya cara pandang dalam memahami kesehatan mental dari sudut pandang yang holistik dan transendental, sebagaimana yang dicontohkan oleh Malik Badri dan Abu Zayd al-Balkhi. Upaya ini selaras dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Mujadilah ayat 11:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”
Serta doa yang selalu kit abaca:
Allahumma inni as-aluka ‘ilman nafi'an wa rizqan thayyiban, wa ‘amalan mutaqabbalan.
"Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amalan yang diterima."
Semoga langkah-langkah kecil yang kita lakukan hari ini menjadi bagian dari mozaik besar untuk menghadirkan Psikologi Islam yang otentik, relevan, dan berdaya guna—untuk kesejahteraan psikologis bangsa dan keridhaan Allah SWT.
*Dosen Psikologi Islam UIN Raden Mas Said Surakarta