22 May 2025

Terjepit Dua Generasi: Peran Self-Disclosure dalam Kesehatan Mental Generasi Sandwich

Oleh: Yusiana*

Perubahan sosial dan demografis yang berlangsung cepat telah menciptakan dinamika keluarga yang semakin kompleks. Salah satu dampak signifikan dari perubahan ini adalah munculnya "sandwich generation", yaitu individu dewasa yang berada dalam posisi merawat dua generasi secara bersamaan: orang tua yang lanjut usia dan anak-anak mereka sendiri. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dorothy A. Miller pada tahun 1981 dan kini menjadi realitas yang semakin nyata di tengah masyarakat modern, termasuk di Indonesia.

Tanggung jawab ganda yang diemban oleh generasi sandwich membawa konsekuensi besar, tidak hanya dari segi finansial tetapi juga dari segi emosional dan psikologis. Dalam situasi ini, kemampuan untuk mengelola tekanan menjadi kunci penting dalam menjaga kesejahteraan mental. Salah satu strategi yang dapat dimanfaatkan adalah self-disclosure atau keterbukaan diri. Esai ini bertujuan untuk menganalisis tantangan yang dihadapi oleh generasi sandwich dan mengeksplorasi bagaimana self-disclosure dapat berperan dalam membantu mereka mengelola beban emosional.

Definisi dan Karakteristik Sandwich Generation

Generasi sandwich merupakan individu yang biasanya berusia di atas 25 tahun dan berada dalam masa produktif. Mereka memiliki peran ganda dalam keluarga: sebagai orang tua bagi anak-anak mereka, dan sebagai anak dari orang tua lanjut usia yang membutuhkan perawatan. Posisi ini membuat mereka seolah "terjepit" di antara dua tanggung jawab besar.

Menurut data Susenas (2022), lebih dari 8 juta orang di Indonesia termasuk dalam kategori sandwich generation. Sebagian besar dari mereka berada di wilayah Jawa, mencerminkan tingginya beban demografis di daerah padat penduduk. Sementara itu, survei Litbang Kompas (2022) menunjukkan bahwa 67% responden mengalami kondisi serupa, baik tinggal satu atap maupun tinggal terpisah dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan.

Karakteristik utama generasi sandwich adalah tekanan yang berasal dari dua arah, baik dalam bentuk kebutuhan finansial, dukungan emosional, maupun tuntutan waktu dan tenaga. Beban ini semakin berat ketika individu tidak mendapatkan dukungan timbal balik dari anggota keluarga lain. Fenomena ini diperparah oleh ekspektasi sosial dan budaya yang menempatkan individu dalam peran pengasuh tanpa syarat.

Tantangan yang Dihadapi oleh Generasi Sandwich

Tantangan utama yang dihadapi oleh generasi sandwich adalah konflik peran yang terus-menerus. Mereka harus mampu menjadi pengasuh yang sabar bagi orang tua yang sakit, sekaligus menjadi panutan dan pendidik bagi anak-anak yang sedang tumbuh. Hal ini menimbulkan dilema waktu, energi, dan perhatian yang sering kali tidak seimbang.

Beban ekonomi menjadi salah satu aspek yang paling mencolok. Individu dalam generasi sandwich sering kali harus bekerja ekstra keras untuk memenuhi kebutuhan tiga generasi sekaligus. Tekanan finansial ini dapat berdampak pada kualitas hubungan dalam keluarga serta memicu gangguan kesehatan mental seperti stres, cemas, dan depresi (Yanuar et al., 2021).

Dari segi psikologis, perasaan bersalah, kelelahan emosional, dan ketidakmampuan untuk memenuhi ekspektasi sosial menjadi masalah yang sering muncul. Data dari DataIndonesia.id (2023) menyebutkan bahwa lebih dari 73% generasi Z yang berada dalam posisi sandwich merasa bersalah jika tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini mengindikasikan adanya internalisasi nilai-nilai pengorbanan yang berlebihan dan tidak sehat.

Peran Self-Disclosure dalam Mengelola Beban Emosional

Self-disclosure adalah tindakan mengungkapkan informasi pribadi kepada orang lain, baik berupa pikiran, perasaan, pengalaman, maupun harapan. Dalam konteks generasi sandwich, self-disclosure menjadi mekanisme penting untuk mengurangi tekanan psikologis.

Menurut DeVito (2016), keterbukaan diri dalam komunikasi interpersonal dapat meningkatkan kualitas hubungan dan memperkuat dukungan sosial. Bagi individu yang mengalami stres akibat beban peran ganda, berbagi cerita kepada orang terpercaya dapat menciptakan kelegaan emosional dan membuka jalan bagi solusi.

Self-disclosure juga memperkuat hubungan interpersonal karena dapat menumbuhkan rasa saling percaya. Dalam keluarga, keterbukaan ini bisa membantu membangun pemahaman yang lebih baik antaranggota, terutama antara pasangan, anak-anak, dan orang tua yang dirawat. Selain itu, self-disclosure juga mendorong penerimaan diri dan membebaskan individu dari rasa bersalah yang tidak perlu.

Namun, tidak semua self-disclosure berdampak positif. Jika dilakukan pada konteks atau orang yang tidak tepat, pengungkapan diri justru bisa menimbulkan risiko. Misalnya, individu bisa mengalami penolakan sosial, kehilangan privasi, atau bahkan merusak relasi profesional. Oleh karena itu, keterampilan dalam memilih waktu, tempat, dan orang untuk berbagi menjadi aspek penting yang perlu dikembangkan.

Pengaruh Budaya dan Gender dalam Self-Disclosure

Budaya memainkan peran penting dalam membentuk cara individu mengelola emosi dan berkomunikasi. Di Indonesia, khususnya dalam budaya Jawa, nilai-nilai seperti nrimo (menerima), ewuh pakewuh (tidak enakan), dan menjaga keharmonisan sering kali menjadi penghalang bagi keterbukaan diri. Emosi negatif cenderung ditekan dan tidak diekspresikan secara terbuka demi menjaga citra dan relasi sosial.

Selain budaya, faktor gender juga mempengaruhi tingkat keterbukaan. Laki-laki umumnya dibesarkan dengan nilai-nilai maskulinitas yang mendorong mereka untuk kuat, tidak cengeng, dan tidak terlalu banyak berbicara tentang perasaan. Sebaliknya, perempuan cenderung lebih terbuka karena norma sosial membolehkan mereka untuk mengekspresikan emosi secara verbal.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa intervensi untuk mendorong self-disclosure di kalangan generasi sandwich harus mempertimbangkan latar belakang budaya dan gender. Dibutuhkan pendekatan yang tepat agar strategi tersebut benar-benar dapat diterima dan efektif.

Kesimpulan

Generasi sandwich adalah realitas sosial yang tak terhindarkan dalam masyarakat modern, terutama di negara berkembang yang sedang menghadapi transisi demografi. Tekanan peran ganda yang mereka alami bukan hanya masalah praktis, tetapi juga menyentuh aspek psikologis yang mendalam.

Dalam menghadapi tantangan ini, self-disclosure hadir sebagai salah satu strategi efektif untuk mengelola stres, memperkuat hubungan, dan membangun ketahanan emosional. Namun, keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada konteks budaya, dukungan sosial, dan kesadaran individu dalam membangun komunikasi yang sehat.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pembuat kebijakan untuk menciptakan lingkungan yang mendorong keterbukaan, menyediakan akses layanan psikologis, serta menghargai peran dan perjuangan generasi sandwich sebagai pilar penting dalam ketahanan keluarga dan sosial di masa depan.

 

*Mahasiswa Psikologi Islam Angkatan 2020

Terjepit Dua Generasi: Peran Self-Disclosure dalam Kesehatan Mental Generasi Sandwich