Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar, Laa illaa haillallah-huwaallaahuakbar, Allaahu akbar walillaahil hamd. Minal Aidzin wal Faidzin. Mohon maaf lahir dan batin. Gema takbir dan ucapan saling memaafkan akan segera kita dengar, setelah usai menjalankan serangkaian ibadah di bulan Ramadan. Bulan Ramadan adalah momentum umat Islam yang dijumpai setahun sekali dalam satu bulan, tentu menjadi kesempatan yang luar biasa bagi seorang muslim yang masih bisa berjumpa dan melaksanakan serangkaian perintah-Nya.
Bulan Ramadan seperti yang tercantum dalam Q. S. Al-Baqarah/2 : 185 , umat muslim diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadan yang sekaligus sebagai bulan permulaan turunnya Al-Quran.
Artinya :
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Puasa adalah menahan makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Puasa sebenarnya adalah ibadah personal yang memiliki tujuan membentuk pribadi yang takwa, karena Allah SWT memberi label orang yang paling mulia adalah orang yang bertakwa (Q. S.Al-Hujuurat/49:13). Dalam pribadi yang takwa terdapat salah satu indikator khas yakni pengendalian diri. Menurut B. F. Skinner, pengendalian diri atau kontrol diri merupakan tindakan diri dalam mengontrol variabel-variabel luar yang menentukan tingkah laku. Dan tingkah laku dapat dikendalikan melalui berbagai cara yaitu menghindar, penjenuhan, stimuti yang tidak disukai, dan memperkuat diri (Alwisol, 2009). Pengendalian diri merupakan kunci seseorang agar bisa bertahan dari segala stimulus yang membuat tidak optimal menjalankan perintah Allah SWT atau bahkan bisa menjadi potensi untuk menjerumuskan diri pada larangan Allah SWT.
Bulan Ramadan tidak hanya menjadi ukuran sukses atau tidaknya seorang muslim menahan lapar dan dahaga, namun bulan yang di dalamnya terdapat serangkaian perintah yang dikemas dalam bentuk perintah aktif maupun momen peristiwa yang terjadi pada bulan Ramadan, yang berimplikasi pada suatu program pembentukan kepribadian. Pribadi takwa adalah menjadi main goal dari perintah berpuasa. Namun istilah “takwa” sendiri masih umum, maka perlu mengkongkritkan agar tahu sejauh mana seorang muslim mencapai pribadi takwa.
Kata “takwa” sendiri tercantum dalam Al-Quran sebanyak 259 kali, dengan segala bentuknya mulai dari perintah, julukan, hingga cara bagaimana seseorang mendapat predikat takwa. Hal ini semakin memperkuat bahwa perilaku takwa perlu dilatih agar bisa terinternalisasi dalam diri seorang muslim. Takwa secara istilah menurut M. Ali as-Sabuni adalah sebagai rasa takut akan murka Allah dan mencegah siksaan-Nya dengan mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Dalam teori kepribadian, faktor pembentuk kepribadian diantaranya adalah pengalaman individu (individual experience), yakni pengalaman yang dirasakan oleh setiap individu melalui tindakan yang dilakukan secara sadar. Pengalaman individu tidak sekedar menambah wawasan tetapi dapat menyatu pada pembentuk kepribadian seseorang. Dalam hal ini pengalaman menjalankan berpuasa, umumnya seorang muslim tidak langsung bisa menjalankan puasa sehari penuh; sejak kecil anak dikenalkan apa itu puasa, kemudian mengenal bagaimana berpuasa, kemudian mencoba berpuasa walaupun tidak langsung seharian penuh (dalam tradisi yang penulis tempati biasanya melatih anak-anak dengan istilah, “puasa bedug”, yakni puasa setengah hari lalu berbuka puasa saat adzan dzuhur kemudian lanjut berpuasa sampai adzan maghrib, “puasa ngasar”, yakni puasa setengah hari lebih lalu berbuka puasa saat adzan asar kemudian lanjut berpuasa sampai adzan maghrib). Pengalaman berpuasa yang diulang-ulang dari usia anak-anak hingga dewasa memberi bentukan (shapping) untuk melatih mengendalikan diri atau self-control. Begitu juga dengan pengalaman yang diajarkan oleh orang disekitar.
Kemudian faktor lain adalah pengalaman kelompok manusia (group experience), yakni kehidupan manusia dipengaruhi oleh kelompoknya (suku, ras, agama, maupun kelompok kecil lain), setiap kelompok manusia akan mempengaruhi anggota kelompoknya, pengalaman tersebut terulang-ulang dalam hidup seseorang yang kemudian menjadi faktor pembentuk kepribadian. Dalam mencapai pribadi takwa pada bulan Ramadan, seorang muslim tidak hanya beribadah personal namun juga tercipta suasana untuk saling berbagi melalui reflek psikologis (naluri hati nurani); berbagi makanan saat buka puasa, menyantuni mustahiq zakat, dan saling menggugurkan kesalahan (di Indonesia ada budaya mudik untuk silaturahmi sanak saudara). Perilaku tersebut dikondisikan dan diulang setiap tahun pada momen bulan Ramadan, dengan harapan seorang muslim memiliki sikap peduli antar sesama, meningkatkan kepekaan sosial, dan memperkuat semangat persatuan yang damai sebagai agama rahmatan lil alamiin.
Dengan demikian perintah maupun keutamaan pada bulan Ramadan, dijalankan tidak hanya sebagai gugur kewajiban, namun sebagai sekolah kepribadian takwa bagi seorang muslim. Pada puncaknya di hari yang fitri umat muslim diseluruh dunia merayakan dengan suka cita, berkumpul dengan sanak keluarga, saling berbagi sesama, dan saling memaafkan. Tentu kualitas kemenangan masing individu berbeda, tergantung sejauh mana seorang muslim berjuang menjalankan sekolah kepribadian tersebut.
Semoga kita semua termasuk hamba-Nya yang senantiasa berusaha maksimal untuk menjadi orang yang paling mulia disisi-Nya, yakni orang yang bertakwa. Aamiin Yaa Rabbal ‘ Alamiin