Berawal dari kebiasaan bersepeda setiap hari Jum’at sambil membawa poster bertemakan krisis iklim di sekitar rumahnya, seorang mahasiswi yang bernama Nala Aprilia dari program studi Psikologi Islam semester satu UIN Raden Mas Said Surakarta akhirnya bertemu dengan teman-temannya dari berbagai negara untuk menyuarakan gerakan iklim pada acara COP27 UNFCCC (Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim tahunan PBB yang ke 27) pada tanggal 14-18 November 2022 di Sharm El Sheikh, Mesir. Conference of the Parties (COP) adalah lembaga pembuat keputusan tertinggi dari UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Ada 198 negara dengan 35.000 lebih delegasi yang bertemu untuk mengadakan Konferensi Para Pihak (COP) untuk merundingkan dan mengambil keputusan terkait isu krisis iklim yang diperlukan untuk menyepakati bagaimana menangani krisis iklim dan dampaknya bersama-sama. Masyarakat sipil, pengusaha, organisasi internasional, dan media mengamati proses untuk menghadirkan transparansi serta perspektif yang lebih luas kepada pemegang keputusan. Tahun ini dunia berada pada titik kritis untuk memenuhi tujuan membatasi pemanasan global hingga 1,5° di atas tingkat pra-industri, seperti yang ada dalam Perjanjian Paris. Acara ini bertema “Together for Implementation” yang  diharapkan  mampu memperkuat kemampuan untuk beradaptasi, membangun ketahanan, dan menyelaraskan aliran keuangan dengan jalur menuju rendahnya emisi gas rumah kaca.

            Di balik hadirnya beberapa anak muda dari Indonesia, DW (Deutsch Welle) Indonesia mengadakan sesi interview untuk mencari informasi terkait apa yang dilakukan anak muda demi membumikan gerakan iklim di Indonesia. Memang banyak anak muda Indonesia yang mulai mengetahui apa itu kerusakan lingkungan, global warming, bahkan krisis iklim, akan tetapi tidak semua dari mereka bergerak menyuarakan isu ini. Kebahagiaan adalah tujuan utama seorang Nala dalam memperjuangkan gerakan iklim selama ini. Krisis iklim sudah membuktikan bahwa manusia tidak akan bahagia bila hidup di tengah puting beliung, banjir, longsor, gempa bumi, suhu yang sangat panas, bahkan tsunami menjadi kabar duka, tangisan, dan kesengsaraan.        

            Acara ini meliputi dua area yaitu area biru dan area hijau. Area biru (blue zone) adalah area yang hanya dapat diakses dengan lencana oleh perwakilan pemerintah dan delegasi tertentu dari organisasi pengamat. Area ini meliputi ruang pleno resmi, ruang negosiasi, paviliun, ruang kantor dan ruang side event. Sedangkan area hijau menampilkan pameran, lokakarya, dan pertunjukan budaya. Nala bertugas sebagai observer dari organisasi 350.org yaitu organisasi yang bergerak dalam bidang lingkungan berpusat di New York, Amerika Serikat. Ada banyak paviliun yang dapat di-explore pada area biru termasuk paviliun Indonesia. Selain belajar memahami solusi dari permasalahan krisis iklim, memperluas jaringan, menghargai perjuangan tiap orang dalam mengatasi krisis iklim, semua orang yang datang pada acara ini mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, mempertahankan suhu bumi untuk tetap stabil dan tentunya untuk menghindari serta meminimalisir adanya krisis iklim yang semakin parah di masa depan.

            Indonesia sebagai negara yang berpotensi mengembangkan keanekaragaman hayati mempunyai peran yang sangat penting dalam mengatasi krisis iklim dan menjadi aset istimewa dunia dalam menjaga kestabilan emisi di bumi. Salah satu topik yang menarik di paviliun Indonesia adalah “Mangrove as Integral Part of Marine Ecosystems”. Tumbuhan yang hidup pada perairan air payau dan air laut ini mampu menyerap emisi yang terlepas dari lautan dan udara sehingga dapat mengurangi peningkatan emisi karbon di alam. Hutan mangrove yang dimiliki Indonesia sebesar 23% dari mengrove dunia patut untuk mempunyai pengelolaan yang baik. Oleh karena itu, Indonesia membangun World Mangrove Center dibarengi kerja sama dengan pemerintah Jerman melalui Forest Programme VI: Protection of Mangrove Forests guna mencapai target FOLU Netsink 2030 (kondisi serapan karbon sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya sudah berimbang).

Selain dibutuhkan kualitas pengelolaan hutan mangrove untuk menyerap karbon, otak manusia juga perlu menyerap pendidikan berbasis iklim agar tidak bertanya-tanya dengan apa yang terjadi saat ini di bumi. Pendidikan dapat membuat seseorang sadar, berubah dan melakukan perubahan. Banyak negara dan organisasi yang sudah merencanakan dibuatnya kurikulum pendidikan iklim untuk dimasukkan kedalam kurikulum sekolah. Salah satu organisasi yang khusus membahas tentang pendidikan Iklim pada acara COP27 yaitu Earth Day Org yang mempunyai program Education Climate Hub. Pendidikan iklim adalah dasar untuk membangun ekonomi sirkular guna mengatasi krisis iklim. Mereka juga mengundang siapa saja untuk bermitra dengan Climate Education Hub untuk memperluas jaringan serta memperkokoh program tersebut.

Hal ini juga selaras dengan keberhasilan pihak Fridays For Future Indonesia dalam mengusulkan pendidikan iklim untuk diimplementasikan pada kurikulum sekolah yang sudah disetujui oleh Kemendikbud beberapa waktu lalu dengan dukungan 13.500 orang lebih dari petisi yang sudah dibuat. Hal ini pun menjadi topik obrolan “Bicarain COP27: Pendidikan dan Ibadah untuk Bumi” di live Twitter space yang diadakan oleh koalisi Jeda iklim dan Cerah ID dengan mengundang Nala Aprilia sebagai perwakilan anak muda dari Fridays For Future Indonesia, Parid Ridwanuddin dari WALHI Nasional, dan David Efendi dari Kader Hijau Muhammadiyah.