Kerusakan lingkungan yang menjadi dampak dan sebab adanya krisis iklim tidak lepas dari ulah manusia itu sendiri. Atas pernyataan itulah, ada sekelompok orang yang mendirikan Stop Ecocide Foundation untuk menyuarakan gerakan “stop ecocide“. Ecocide yaitu tindakan melanggar hukum yang berdampak besar bagi kerusakan lingkungan. Tema pembahasan paviliun ini di COP27 adalah tentang kerangka hukum pidana internasional untuk dijadikan pagar pembatas terhadap oknum-oknum yang mempercepat adanya krisis iklim. Dari semua paviliun yang menghadirkan talkshow, negosiasi, serta aspirasi, kehadiran para pemuda sebagai generasi penerus masa depan yang mempunyai semangat memperjuangkan gerakan iklim patut di contoh oleh orang-orang yang masih memperburuk krisis iklim, karena itu didirikanlah youth and children pavilion untuk pertama kalinya dibangun dan mengusung berbagai program yang menyoroti isu-isu penting terkait anak dan remaja seperti aksi pemberdayaan iklim, keadilan iklim, inovasi, energi sampai peran pemuda sebagai generasi mendatang.

            Saat berkeliling disana, tentunya banyak paviliun dari berbagai negara termasuk Singapura, negara yang mempunyai lahan kecil itu juga mendapatkan efek dari krisis iklim. Singapura juga mempunyai pesisir pantai sama seperti wilayah Indonesia yang notabenenya sebagai negara kepulauan. Namun dari sinilah, Ocean Purpose Project yaitu organisasi yang berasal dari singapura membahas tentang kondisi sekaligus solusi untuk perairan yang terganggu kestabilan ekosistemnya. Tujuan dibangunnya Ocean Purpose Project yaitu untuk menciptakan gerakan yang mendorong konservasi laut dan pencegahan polusi plastik melalui proyek-proyek yang kreatif dengan dampak skala besar. Hal ini patut dicontoh oleh Indonesia yang mempunyai perairan yang lebih banyak daripada Singapura.Gerakan Fridays For Future (Jum’at untuk Masa Depan) sebagai gerakan yang Nala jalankan adalah gerakan yang dipimpin dan diorganisir pemuda yang dimulai pada Agustus 2018, setelah Greta Thunberg yang berusia 15 tahun dan aktivis muda lainnya duduk di depan parlemen Swedia untuk memprotes kurangnya tindakan terhadap krisis iklim. Gerakan ini diikuti oleh 14 juta anak muda lebih dari seluruh dunia. Ada istilah MAPA (Most Affected People and Areas) dalam gerakan ini yaitu orang dan wilayah paling terdampak yang bertujuan untuk membuat komunitas yang paling menderita akibat dampak krisis iklim lebih terlihat. Maka dari itu, pada COP27 diluncurkan MAPA Post agar suara atas penderitaan mereka lebih didengar oleh seluruh dunia.

            Setiap paviliun biasanya menawarkan brosur atau laporan program yang bisa dimiliki oleh delegasi secara cuma-cuma untuk lebih menambah wawasan terhadap isu krisis iklim. Global Center on Adaption menyiarkan hasil riset tentang youth engagement with the Global Goal on Adaption dalam bentuk laporan. Ada 24 organisasi dari kalangan remaja, masyarakat dan pemerintah berbagai negara yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Peranan kaum muda menjadi sorotan khusus yang dibahas, karena kaum mudalah yang menjadi populasi terbesar sepanjang sejarah dengan total 1,21 miliar. Jika krisis iklim tidak segera diatasi, generasi inilah yang mendapatkan konsekuensi pemanasan suhu bumi dalam waktu yang panjang. Kaum muda adalah advokat yang efektif dalam menyampaikan tuntutan inovatif untuk solusi kebijakan yang adil dan beradab dan mereka bertekad mengembangkan kolaborasi yang kuat demi membangun iklim yang stabil sekaligus berkelanjutan dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun internasional. Laporan ini mengajak pembaca untuk memahami realita dari keadaan iklim tiap benua dan solusi adaptif yang perlu diimplementasikan dengan jelas.

            Kemudian, aktivitas para delegasi pun tidak berhenti didalam ruang rapat dan paviliun saja, namun juga diluar ruangan. Beberapa kali mereka mengadakan demonstrasi dengan meneriakkan kata-kata seperti “What do we want? Climate Justice! When do we want it? Now! the people united will never be defeated, no more bla bla bla loss and damage finance now!” dan beberapa pidato untuk menuntut keadilan iklim kepada para pemimpin dunia yang sedang berunding di ruang rapat utama.  Demonstrasi ini pun diliput oleh The International Institute for Sustainable Development (IISD) dan menarik perhatian banyak media  untuk meluaskan informasi tentang aksi ini ke seluruh dunia. Selain area biru yang menyediakan banyak paviliun, di area hijau pun disediakan beberapa paviliun. Perbedaannya adalah area hijau lebih dikhususkan kepada pameran dan taman yang berkelanjutan seperti patung dari peralatan rumah tangga, museum biosphere, dan sebagainya. Banyak delegasi dari area biru yang datang ke area hijau pada sore hari sebagai tempat rekreasi setelah melakukan aktivitas yang rumit di area biru. Selain delegasi, area hijau juga dapat diakses oleh masyarakat umum untuk bermain. Paviliun disini pun khusus untuk perusahaan-perusahaan swasta yang diundang oleh pemerintahan Mesir. “Government as an Enabler for Climate Change Action” menjadi satu diantara topik yang dibahas pada room meeting area hijau. Pemerintahan Mesir meluncurkan program reformasi kebijakan energi yang komprehensif di sektor listrik, minyak dan gas yang mencakup program efisiensi energi terbarukan sebagaimana tercermin dalam Strategi Energi Terpadu 2035 (ISES 2035).

            Pada tanggal 18 November 2022, COP27 mengumumkan hasil perundingan akhir yaitu disahkan untuk pertama kalinya loss and damage finance (dana bantuan kerusakan) bagi negara-negara yang rentan terkena krisis iklim, promosi solusi teknologi iklim di negara-negara berkembang, memajukan pekerjaan mitigasi, memberhentikan secara bertahap tenaga batu bara, menghapus subsidi bahan bakar fosil, mempercepat transisi yang bersih dan adil ke energi terbarukan. Dengan demikian, manusia harus bergerak secepatnya untuk mengatasi ancaman yang sangat bahaya ini sebelum terlambat, karena tidak ada planet yang layak untuk ditinggali selain Bumi. Semua rencana akan sirna bila hanya selalu dijadikan wacana dan formalitas semata. Saat ini pun bumi sudah membuktikan bahwa keadaannya tak baik-baik saja, mulai dari meletusnya gunung Semeru, banjir bandang di Pati, gempa bumi di Cianjur dan Garut. Lantas, sebanyak apalagi bencana yang akan membuat pemerintah dan masyarakat untuk dapat bergerak mengatasi krisis iklim ini?.